Dia tetap belum menikah diusianya yang sudah berkepala tiga.
Ah, boleh jadi proses yang akan ditempuhnya akan panjang—sepanjang pergolakan dalam pikiran dan hatinya.
Tapi, sumpah, dia pernah berkata seperti ini: "kenapa tujuan hidup orang kebanyakan harus ditentukan—yang dimulai—dengan sekolah, bekerja dan ujung-ujungnya menikah?!"
Ya, skenario kebanyakan orang memang kurang lebih begitu: sekolah-kuliah-bekerja-menikah-punya anak-dan bla...bla...
Apakah setiap orang harus memiliki tujuan dalam hidup? Mengapa harus memiliki tujuan hidup? Mengapa kita dituntut untuk memilikinya? Bagaimana jika seseorang tidak memilikinya?—atau memang pada akhirnya—seiring perjalanan waktu—dia tidak ingin memilikinya? Apakah dia pantas untuk disebut seseorang yang gagal?
Terjangan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap membuat frustrasi saya sebenarnya. Terlalu banyak target—dan mempertanyakannya—memang akan (baca: sering) bikin pusing diri sendiri.
Karena orang-orang menandainya (baca: tujuan hidup) sebagai kebahagiaan dalam hidup—yang parameternya adalah kesuksesan; di dalamnya ada uang dan nama besar.
Jelas saja karena keduanya memang punya daya untuk mengendalikan—berbanding lurus dengan pencapaian-pencapaian yang saya sebutkan diawal.
Pencapaian tidak akan ada tanpa ekspektasi. Itu hukum alamnya. Ekspektasi ada (katanya) sebagai busur dan motivasi adalah daya gedornya.
Tapi, tak semua dari kita menyiapkan diri (dengan memiliki mental yang tangguh) dalam seni mengelola ekspektasi—alih-alih frustrasi. Pada kenyataannya kita sedang mengerjakan "kepuasan" orang lain demi peng-A-K-U-an; demi dianggap A-D-A: demi E-K-S-I-S-T-E-N-S-I.
Ayo akui...