Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Target Hidup: Seni Mengelola Ekspektasi Demi Sebuah Eksistensi

2 Mei 2021   05:45 Diperbarui: 6 Mei 2021   13:30 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lampu hias yang bertuliskan petunjuk dalam hidup seseorang. (Sumber: Unsplash.com/Foto oleh Austin Chan)

Dia tetap belum menikah diusianya yang sudah berkepala tiga.

Ah, boleh jadi proses yang akan ditempuhnya akan panjang—sepanjang pergolakan dalam pikiran dan hatinya.

Tapi, sumpah, dia pernah berkata seperti ini: "kenapa tujuan hidup orang kebanyakan harus ditentukan—yang dimulai—dengan sekolah, bekerja dan ujung-ujungnya menikah?!"

Ya, skenario kebanyakan orang memang kurang lebih begitu: sekolah-kuliah-bekerja-menikah-punya anak-dan bla...bla...

Apakah setiap orang harus memiliki tujuan dalam hidup? Mengapa harus memiliki tujuan hidup? Mengapa kita dituntut untuk memilikinya? Bagaimana jika seseorang tidak memilikinya?—atau memang pada akhirnya—seiring perjalanan waktu—dia tidak ingin memilikinya? Apakah dia pantas untuk disebut seseorang yang gagal?

Terjangan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap membuat frustrasi saya sebenarnya. Terlalu banyak target—dan mempertanyakannya—memang akan (baca: sering) bikin pusing diri sendiri.

Karena orang-orang menandainya (baca: tujuan hidup) sebagai kebahagiaan dalam hidup—yang parameternya adalah kesuksesan; di dalamnya ada uang dan nama besar.

Jelas saja karena keduanya memang punya daya untuk mengendalikan—berbanding lurus dengan pencapaian-pencapaian yang saya sebutkan diawal.

Pencapaian tidak akan ada tanpa ekspektasi. Itu hukum alamnya. Ekspektasi ada (katanya) sebagai busur dan motivasi adalah daya gedornya.

Tapi, tak semua dari kita menyiapkan diri (dengan memiliki mental yang tangguh) dalam seni mengelola ekspektasi—alih-alih frustrasi. Pada kenyataannya kita sedang mengerjakan "kepuasan" orang lain demi peng-A-K-U-an; demi dianggap A-D-A: demi E-K-S-I-S-T-E-N-S-I.

Ayo akui...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun