Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Target Hidup: Seni Mengelola Ekspektasi Demi Sebuah Eksistensi

2 Mei 2021   05:45 Diperbarui: 6 Mei 2021   13:30 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lampu hias yang bertuliskan petunjuk dalam hidup seseorang. (Sumber: Unsplash.com/Foto oleh Austin Chan)

Beberapa waktu lalu saya pernah mengadakan polling di Instagram saya. Pertanyaannya sederhana, di antara mentally stable dan financially stable mana yang akan para teman-teman followers saya pilih. Dari dua opsi yang saya lempar, sebanyak tujuh puluh dua persen memilih menjawab kestabilan secara mental dan sisanya sebanyak dua puluh delapan persen sepakat memilih stabil secara finansial.

Tidak mengejutkan meskipun dari polling itu saya dapat menarik simpulan sendiri setelahnya.

Tentu saja kebanyakan teman-teman saya dominan memilih stabil secara mental. Pun saya juga demikian sebenarnya. Karena dengan mental yang sehat lah seseorang kelak baru dapat merancang masa depan yang diisi dengan susunan pencapaian-pencapaian—yang mungkin di antaranya terdapat pencapaian finansial: stabil secara keuangan.

Stabil secara mental atau keuangan adalah bagian dari target hidup kebanyakan orang. Bicara target berarti kita membicarakan tujuan hidup—dan tujuan hidup setiap orang mungkin sedikit berbeda tiap individu (secara spesifik) tetapi secara skenario besarnya tetaplah sama (secara garis besar).

Sebagai contoh, kita memasukkan anak-anak kita ke sekolah karena kita lebih mementingkan soal "memang sudah waktunya" BUKAN karena memang anak-anak kita "mau" atau karena mereka benar-benar "memintanya" hingga pada akhirnya mereka terjebak dalam struktur yang tidak benar-benar mereka sukai. Sekolah dianggap beban dan mereka sulit berdamai dengan itu. Tak heran banyak dari mereka (baca: ketika mereka sudah dikatakan mampu menganalisis) sampai harus diarahkan (lagi?) minat dan bakatnya agar tak salah menentukan arah (hidup?).

Karena awalnya tujuan kita baik (karena secara akal mereka yang dini ini perlu diarahkan) keputusan kita bisa dimaafkan; manusia dewasa adalah trigger untuk mereka.

Tak cukup satu contoh sebagai gambaran?

Baiklah, saya kenal satu orang perempuan. Dia ada di sirkel terdekat saya. Dia pernah berujar, dia baru akan benar-benar memikirkan menikah disaat usianya dua puluh delapan. Bayangkan? Baru akan memikirkan diusianya yang kedua puluh delapan?!

Alasannya, dia tak ingin buru-buru menghabiskan masa bebasnya (dengan membersamai seseorang sepanjang hidupnya namun disisi yang berbeda dia terbelenggu karena kebebasannya sebagai individu dirampas) sebagai perempuan yang merdeka—alih-alih dia memang sudah tahu benar bagaimana struktur masyarakat kita bekerja—meskipun sebenarnya dalam kondisi saat dia mengatakan itu, dia sudah berada dalam struktur yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja.

Lalu, bagaimana dia sekarang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun