Sedangkal pengetahuan yang saya tahu selama ini adalah definisi utuh atau tidaknya—termasuk indikator bahagia atau tidaknya—sebuah pernikahan lebih banyak diukur dengan dikaruniai atau tidaknya sepasang suami-isteri dengan kehadiran seorang anak.
Saya berani berkata demikian karena kultur di masyarakat kita seolah memberi legitimasi akan hal itu dan orang-orang yang kita tuakan (termasuk orang tua kita sendiri di keluarga inti) juga membenarkan anggapan tersebut.
Hal tersebut tidak salah. Tapi, tidak sepenuhnya benar juga. Hanya saja, menurut saya, perasaan untuk ingin mempunyai anak—ataupun tidak ingin memilikinya—adalah sesuatu yang bisa dikatakan valid meski tak rasional untuk disamaratakan terhadap semua orang.
Memilih untuk "berdiri" di antara masyarakat yang menganggap demikian atau memilih hanya berdua saja (dengan kata lain menua bersama) sepanjang sisa usia kita bersama pasangan adalah dua pilihan berbeda yang berdiri sejajar. Semua dikembalikan pada kita dan pasangan.
Pun saya pribadi, bohong sekali jika saya katakan saya tidak ingin memiliki anak yang saya lahirkan dari rahim saya sendiri setelah menikah.Â
Kalau boleh jujur, saya berkeinginan memiliki anak laki-laki tidak satu atau dua—melainkan sekaligus empat. Tak apa dalam rentang waktu yang berdekatan, biar lelahnya sekalian. Beberapa teman saya tahu jelas tentang keinginan saya ini.
Hanya saja, ada beberapa faktor eksternal dan internal yang harus lebih dulu saya penuhi—yang sebelumnya saya jadikan sebagai beberapa acuan—sebelum itu berani saya wujudkan bersama pasangan saya nantinya: memiliki dan mengasuh anak bersama. Tentu saja, saya dan pasangan harus lebih banyak berkompromi lagi; lebih banyak bernegosiasi lagi.
Lagi pula, saya mungkin saja berani berkata seperti ini sekarang (baca: memiliki empat anak laki-laki sekaligus)Â tapi saya tidak tahu lima menit kemudian? Who knows? Pemikiran manusia bisa berubah seperti halnya cuaca.
Yang jelas, bukan saya yang jadi sorotan dalam tulisan ini.
Baiklah, mari kita bicarakan dengan lebih serius.