Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jadi Guru dengan Upah Minim? Realistis, dong!

25 Februari 2021   00:00 Diperbarui: 25 Februari 2021   00:14 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu digarisbawahi dulu, CPNS belum tentu guru, begitu juga sebaliknya. Hanya saja tulisan ini dibuat menyasar CPNS yang juga berprofesi sebagai seorang guru.

Semua dimulai dari postingan di akun Twitter seorang penulis yang saya komentari menyoal berita viral seorang guru honorer yang mengunggah gaji Rp. 700.000 yang diterimanya sebagai CPNS yang kemudian berujung pemecatan.

Baiklah, mungkin saya yang salah menerjemahkan maksud cuitan tersebut dan menarik kesimpulan ala kadarnya sehingga memancing saya ikut berkomentar. Logika dangkal saya sih begini: sesuatu yang saya tahu berpotensi akan menimbulkan keluhan ke depannya, setidaknya saya sudah bisa tahu cara bagaimana mengantisipasinya. 

Sama seperti halnya memilih sebuah pekerjaan untuk dijadikan profesi.

Jujur, saya tidak tahu perkembangan terbaru (setidaknya sewaktu berkomentar ketika itu) berapa gaji seorang CPNS—terlepas apapun bidangnya termasuk CPNS dengan profesi guru hingga saya bisa dengan percaya dirinya melontarkan ragam komentar saya di postingan Twitter sang penulis tersebut. 

Saya tidak akan membahas secara detail di tulisan ini perihal saling balas komentar dari orang-orang yang menyikapi tanggapan saya atas cuitan itu alih-alih terus merasa baper terhadap mereka. Tapi, coba bayangkan, saya dituding tidak mempunyai sedikit pun empati terhadap sang guru, yang kemudian pada akhirnya membuat saya dinilai menyudutkan peran penting profesi guru beserta pengabdiannya.

Saya dianggap tidak punya hati oleh mereka (yang menuding saya). Kalau di-flashback bikin sedih sih. Tapi, ah sudahlah. Tuh, kan hampir saja saya baper.

Btw, saya memang tidak tertarik jadi CPNS/PNS meskipun ada beberapa anggota keluarga besar saya yang PNS dan beberapa kenalan saya yang sekarang bekerja di beberapa instansi dengan label CPNS. 

Kita sama-sama tahu dan bukan jadi rahasia lagi kalau CPNS/PNS akan banyak mendapat tunjangan ini dan itu di luar tunjangan gaji. Untuk sebagian besar orang memang begitu menggiurkan, tak heran hingga sekarang masih banyak orang yang mencoba peruntungannya begitu tes CPNS dibuka. Mulai dari kaum—milenial—yang katanya berintelek, hingga yang usianya nyaris mepet-mepet batas ambang penerimaan. Semua tumplek plek

Apakah kamu termasuk salah satunya?

Ih, kalau saya sih ogah. Apa penyebabnya? Agak subyektif sebenarnya. Pokoknya, tidak tertarik. Kalau bahasa India mah, nehi. Etapi, ini saya lho ya. Buat para pembaca sekalian yang masih pernah dan masih terus ingin berjuang, monggo dipersilakan.

Sumber foto: nusantaranews.co
Sumber foto: nusantaranews.co

Balik lagi ke profesi guru, saya sendiri sangat mengagumi sosok guru sebagai profesi berikut pengabdian yang ia lakoni. Saya pribadi, dekat sekali dengan lingkungan guru. 

Saya menghabiskan masa remaja saya di lingkungan yang didominasi guru. Kakek dan nenek saya guru, paman dan bibi saya juga—bahkan almarhumah ibu saya juga pernah menjadi guru. 

Jauh lebih dari itu, saya pun masih merawat cita-cita saya hingga detik ini yang ingin sekali menjadi seorang guru taman kanak-kanak dan memiliki taman kanak-kanak saya sendiri saking sukanya saya terhadap dunia pendidikan—ini boleh jadi karena saya suka anak-anak kali ya.

Ingat, saya maunya jadi guru, bukan CPNS/PNS.

Bicara gaji kecil (dalam hal ini, apa yang menimpa guru tersebut memang sangat ironi. Gaji yang diterimanya memang jauh di bawah layak) apapun profesi utama yang kita lakoni, sebenarnya bisa kita siasati jika memang—mau tidak mau, suka tidak suka—tujuannya motif ekonomi untuk kebutuhan hidup. Bukan apa-apa, saya juga sudah sering melihat faktanya di lapangan mengenai ini. Tak sedikit orang yang memiliki side job di luar pekerjaan utamanya dan itu berlaku untuk banyak profesi. Termasuk guru. Sah-sah saja tah.

Mungkin di luar sana ada seorang guru yang di luar profesinya menjadi guru juga mencari penghasilan tambahan dengan membuka toko kelontong di rumah. Atau ada pula yang memberi les privat dari bidang yang ia kuasai dengan baik. Bisa pula ada yang membuka toko konter pulsa kecil-kecilan—atau menjadi instruktur tari salsa atau rumba dan lain sebagainya. Who knows? Apapun selama bisa menghasilkan, ya dikerjakan, mungkin begitu pikir mereka.

Setali tiga uang, saya pun melakoni hal yang sama. Saya seorang Fotografer sekaligus Desainer Grafis meski saya akui pengalaman saya mendesain masih belum setinggi terbangnya elang yang mengangkasa. Saya juga bisa lah dikit-dikit menghasilkan duit dari menulis biarpun bukan termasuk orang yang jago-jago amat.

Ini lho yang saya katakan realistis. Lantas apa salah saya berkata demikian?

Saya sih tidak menyarankan siapapun yang berprofesi guru harus ikut turun gunung mencari sumber penghasilan tambahan. Tidak begitu juga cara mainnya bukan? Jika memang gaji yang didapat dirasa cukup, buat apa capek-capek: buang waktu dan tenaga. 

Tapi, kalau memang terpaksa dan didesak oleh situasi serta keadaan, bagaimana?

Kita memang tidak bisa menutup kenyataan akan nyinyiran yang mengatakan jika semua guru mencari sumber penghasilan lain bisa jadi tidak akan ada lagi guru yang benar-benar berkualitas untuk mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas lagi tangguh. Parahnya lagi jika penghasilan yang didapat lebih besar dari gajinya sebagai guru, mungkin tidak akan ada lagi orang yang bersedia menjadi guru. Suramlah masa depan negara kita kalau begitu!

Tapi, jika memang pada akhirnya harus seperti itu...

Saya tak bisa membayangkannya dan tak mau membayangkannya.

“Ngomong mah enak banget elu?!”          

Pasti ada yang lagi nyinyir ke saya nih sekarang.

Intinya, menjalani profesi, apapun itu ya mbok dikerjakan dengan hati ikhlas, syukur-syukur memang berangkat dan dimulai dengan panggilan jiwa terhadap profesi itu. Duh, saya sudah seperti sedang menggurui sekarang, maafkan saya. Jangan kebanyakan mengeluh alih-alih memendamnya lama-lama. 

Meromantisasi keluhan pada akhirnya akan menambah masalah baru. Lagi pula, jauh sebelum pilihan dijatuhkan, seharusnya seseorang sudah harus siap dengan konsekuensi yang akan menyertai ke depannya—di sinilah letak mengolah kematangan untuk siap mental: tangguh dan tahan banting.

Pilihannya cuma dua: siap dan bertahan selama apapun itu—dengan profesi yang dipilih tersebut—dengan menyiasatinya; atau tidak siap lalu tinggalkan dan beralih ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Lagi-lagi, sebenarnya ini soal perkara sejumlah nominal—dan martabat—yang diperjuangkan!

Inti dari intinya lagi, jangan mau jadi CPNS/PNS kalau bercita-cita mau jadi orang kaya meskipun dengan iming-iming banyak tunjangan termasuk jaminan hari tua. Sekadar untuk bertahan hidup boleh lah, itu juga tak selalu mulus, apalagi jika kalian sudah berumah tangga dan memiliki tanggungan anak yang tak cukup satu atau dua.

Jadi, realistis lah! Apapun profesinya.

Sssttt...halo Pak Jokowi, gimana dong ini?

***

Disclaimer:

Saya hanya membagikan opini dan mencoba realitis saja meskipun tidak sesederhana pada prosesnya. Mungkin tidak semua yang membaca tulisan ini, sepakat dengan opini saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun