Salah satu kegiatan favorit kami adalah jalan-jalan. Biasanya kami lakukan usai mengajar, kebetulan jadwal mengajar kami sama. Karena aku tidak punya motor dan Nurhasanah punya, kami punya alasan yang bagus untuk pulang bersama, dan kebetulan satu arah. Sejak awal aku diperkenalkan oleh Nurhasanahkepada para guru sebagai kawan akrab dari masa lalu. Memang demikian adanya. Dulu, pada kedatanganku pertama di karawang aku dan dia bersahabat. Tidak begitu akrab sebetulnya. Aku seorang karyawan dan dia mahasiswi IPB. Usia kami hanya terpaut 2 minggu. Sama-sama di bulan April tetapi beda Zodiak.
Tapi apa pentingnya Zodiak?
Mungkin tidak penting.
Tapi aku suka.
Sekedar menghibur dan kadang-kadang berusaha meyakini bila ramalan zodiakku bernada positif :
Minggu ini kamu akan mendapatkan rezeki yang tidak kamu duga sebelumnya.
Indah sekali!
Setelah jam pelajaran usai kami akan ngobrol sebentar di warung Mak Nung, yang berada tepat di depan kelas 2. Mak Nung seperti orang tua sendiri buatku. Sejak pertama kali berjumpa, dia telah berhasil merebut hatiku dengan keluguan dan cerita masa lalunya yang menurutnya indah sekaligus pedih. Dan sepertinya, walaupun hal ini tidak diutarakan, dia sudah tahu hubungan kami. Berulang kali dia berkata kemaren Nurhasanah cerita tentang aku, besoknya juga cerita lagi dan besoknya lagi.
Dan Mak Nung adalah perempuan yang sudah tahu asam garam kehidupan, sudah tahu mimik sekaligus gelagat. Kukira dengan kelebihannya itu dia memang sudah tahu kami sedang kasmaran. Tak perlu kutanyakan lagi. Cukup dengan cengiran atau kerlingan mata kiri, kami berdua paham apa yang kami maksud.
Aku lebih suka memesan kopi ke Mak Nung dari pada harus minta ke pihak sekolah. Kadang-kadang aku bayar lebih dan ternyata di kemudian hari hal itu memberiku sebuah manfaat penting.
Untuk menerima kita musti memberi.
Kadang-kadang aku harus mendengarnya bercerita, walau sedang tak ingin. Tentang pernikahannya dengan orang Malaysia semasa dia masih gadis. Masa-masa yang indah itu hanya bertahan sepuluh tahun, dan akhirnya kandas, semua anaknya ikut bapaknya, dan Mak Nung musti menerima nasib, harus kembali ke Indonesia dengan bekal cuma 100 ribu rupiah, ditambah pula berpisah dengan anak-anaknya. Kini ia sebatang kara. Hidup di gubuk reot sendirian.
Hidup itu memang tak terduga. Kita tak bisa meramal apakah besok akan jaya atau tiba-tiba terperosok dalam jurang kemelaratan. Mak Nung saat itu tak pernah mengira bahwa pernikahannya akan kandas karena pembantu. Suaminya terpincut dengan pembantunya yang berasal dari Filipina, seorang Pinoy yang seksi.
Sekolah sudah sepi. Anak-anak kelas 1 dan 2 sudah pulang semua. Guru-guru juga sebagian besar sudah menghilang. Aku menunggu Nurhasanah menghabiskan teh pahit. Kopiku tinggal ampas.
"Yuk pulang. " Ajakku.
"Lah emang mau nginep. Mak Nung juga ga mau terima kalo kamu nginep." Canda Nurhasanah.
Mak Nung mengedipkan mata.
Idih!!
Nenek-nenek ini!
Salah satu nenek-nenek favoritku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H