“Maksud mu apa, Ton? kamu remehin aku? Mentang mentang sudah bekerja gitu sok dewasa?, ingat Bapak kamu cuman buruh tani di sawah milik Ayah ku, kamu tidak bisa melakukan seenaknya di depan ku” ucap Dimas sambil memegang pundak Anton.
Di situ Anton tidak terima dengan ucapan yang dikatakan oleh Dimas, ia marah dan langsung mendorong Dimas sampai terjatuh. Dimas terkejut dengan perasaan amarah yang menggebu gebu, langsung memukul Anton dengan tangan kosong sampai Anton terjatuh. Perkelahian pun terjadi di depan kelas yang akhirnya menimbulkan kerusuhan dan dimana waktu itu adalah waktu pulang sekolah, banyak dari siswa lain melihat perkelahian tersebut tanpa berani melerai mereka berdua sampai pada akhirnya salah satu guru datang dan melerai pertengkaran mereka. Guru bk langsung memanggil kedua orang tua dari Anton dan Dimas. Matahari mulai terbenam Jam menunjukkan pukul 17.00, Pak Edi atau ayah Dimas dan Pak Rahmat keluar dari ruang BK, Pak Rahmat tidak berhenti memohon maaf kepada Pak Edi karena pak Edi merupakan juragan dari Pak rahmat sendiri, Pak Rahmat sampai rela bersujud kepada Pak Edi dan Dimas untuk meminta maaf padahal nyatanya kedua anak mereka sama sama bersalah. Anton merasa kesal dan terluka melihat ayahnya bersujud kepada orang yang tidak tau belas kasihan. Dengan seenak nya Pak Edi langsung memotong upah harian Pak Rahmat. Mendengar pernyataan itu Anton semakin kesal, ia langsung menarik ayahnya untuk berdiri dan pergi mengacuhkan Pak Edi dan Dimas. Tetes air keluar dari mata Anton, ia tidak tega melihat ayahnya tidak di hormati selayaknya manusia pada umumnya, dari kejadian tersebut Anton merasa bersalah kepada sang Ayah karena ulahnya semua keadaan menjadi kacau. “Nak, Setiap kali kita melakukan kesalahan, kita diberi kesempatan untuk memahami diri kita dan mengetahui apa yang perlu diperbaiki, kesalahan bukanlah akhir, namun sebuah pelajaran berharga yang mengajarkan kita untuk lebih bijaksana dan berhati-hati di masa depan.” ucap Pak Rahmat menasihati. “Maafkan Anton ya Yah, sudah membuat kerusuhan di sekolah sampai Ayah tidak dihargai seperti itu, Anton janji tidak akan mengulangi hal yang sama.” jawab Anton meyakinkan Ayah nya. “Anton, jikalau kamu direndahakan orang lain janganlah sakit hati mu biarkan orang lain berkata, kamu hanya perlu diam dan buktikan bahwa dirimu tidaklah seperti itu.” ucap Pak Rahmat.
“Baik, Yah. Anton mau masuk ke kamar dulu.”
Anton memasuki kamarnya dengan meneteskan air mata, ayahnya sangat menyayangi Anton sehingga mustahil baginya untuk mengecewakan harapan ayahnya. Mulai saat itulah Anton menerapkan nasihat dari sang ayah, ia mulai menyadari dan belajar dari sebuah kesalahan. Ia berjanji kepada dirinya untuk belajar dengan bersungguh-sungguh dan bermimpi menjadi seorang Abdi Negara sebagai bukti bahwa ia akan terus mengabdi kepada ayah dan kepada negara sendiri.
Semester genap pun berakhir, Anton memulai hari senin dengan Ujian Akhir Semester untuk kelulusannya SMP. Ia yakin bahwa nilai ujiannya akan sesuai dengan harapan, karena ia sudah menyiapkan belajar nya dengan matang. Meskipun sedang ujian ketika pulang sekolah ia tetap bekerja sebagai kuli sampai waktu menjelang sore, dan ketika malam ia gunakan sebaik mungkin untuk belajar.
Ujian telah usai dan Anton mendapatkan rangking 1 paralel di sekolahnya, Pak Rahmat yang meluangkan waktu nya untuk mengambil rapor anak nya merasa sangat bangga karena anak nya telah memulai jalan awal nya dengan baik. Akhirnya, Anton memasuki sekolah menengah atas terbaik di kota berkat kegeniusan nya ia mendapat beasiswa bebas spp di sekolahnya. Jarak desa rumahnya dan kota sekitar 8km yang anton tempuh dengan sepeda tua milik ayahnya, itu tidak membuat Anton putus asa untuk meraih ilmu. Anton menganggap ini adalah langkah awalnya untuk mencapai sebuah kesuksesan. Jerih payahnya tidak seberapa ketimbang ayahnya, oleh karena itu ketika ia merasa lelah karena keadaan ia selalu mengingat sang ayah yang lebih lelah namun tidak pernah ditunjukkan. Hari hari Anton lalui di sekolah baru dan teman baru, banyak teman Anton yang berasal dari keluarga kaya dan mampu, namun mereka tetap menghargai Anton sebagai seorang teman yang dimana Anton lahir dari latar belakang keluarga yang kurang dari cukup. Seringkali Anton berpuasa di sekolah agar uang saku nya bisa ia simpan untuk biaya pendaftarannya nanti. Merupakan hal lumrah jika disekolah terdapat beberapa anak yang mengajak Anton untuk merokok, minum minuman, balap liar dan sebagainya. Tapi Anton tetap menolak ajakan tersebut karena ia sadar ia hanya anak seorang buruh tani, tidak pantas baginya untuk berfoya foya atau melakukan hal yang kurang bermanfaat. Anton menghindar dari teman yang seperti itu ia lebih memilih diam, belajar dan bekerja, hanya itu yang ada di benak Anton. 3 Tahun berlalu Anton lulus sekolah dengan tetap mempertahankan rangking paralel, Pak Rahmat sangat bangga karena Anton mampu mempertahankan nilai akademik nya. “Ton, Ayah bangga kepada mu nak, ini adalah awal mula perjalanan hidup mu yang sesungguhnya, Ayah tidak tahu apa cita cita mu tapi Ayah yakin derajat mu akan lebih tinggi dari seorang buruh tani ini nak,” ucap Pak Rahmat sambil memeluk anak semata wayangnya. Mendengar pernyataan itu Anton hanya meneteskan air mata, ia tak sanggup menatap sang ayah karena Pak Rahmat menaruh sebuah harapan yang sangat besar kepadanya Anton, ia memeluk erat ayahnya.
Cahaya sinar masuk di sela sela jendela dan genteng rumah menyilaukan mata Anton, semua berkas pendaftaran sudah dipersiapkan Anton dengan lengkap tidak meninggalkan satu berkas apa pun, pagi pagi ia sudah berada di teras dengan kemeja putih, celana hitam dan sepatu hitam serta gaya rambut buzz cut rapi menunjukkan bahwa Anton siap untuk menjadi seorang Abdi Negara.
“Kemana Ton?” tanya Pak Rahmat
“Yah, maaf Anton tidak membicarakan hal ini sebelum nya tapi ayah doakan Anton ya Yah." jawab anton menenangkan Pak Rahmat
“Apa maksud mu nak?, kau ingin merantau?” tanya Pak Rahmat kembali penasaran.
Anton tersenyum kecil kepada sang Ayah, lalu berbisik “Anton daftar tentara Yah”. bisik Anton kepada Pak Rahmat