Hamparan hijau terbentang luas diantara pemukiman penduduk. Cangkul dan caping menjadi alat tempur sang penggarap tanah. Sebut saja Pak Rahmat seorang buruh tani yang kerja banting tulang untuk anak semata wayangnya. Pak Rahmat menaruh harapan besar kepada putranya agar hidupnya lebih baik dari dirinya. Anton lahir dari latar belakang keluarga yang mungkin kurang beruntung, ia hidup hanya bersama ayahnya saja, sang ibu meninggal saat bersamaan dengan kelahiran Anton. Ya, memang menyedihkan tapi hal tersebut tidak membuat Anton dan Pak Rahmat patah semangat untuk menjalani kehidupan mereka. Pak rahmat berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuk Anton, Pak Rahmat mengajarkan banyak hal dan pengetahuan kepada Anton agar bisa menjadi anak yang berguna bagi setiap orang. Buruh tani selalu menjadi pekerjaan yang di pandang rendah oleh setiap orang, padahal seorang buruh tani sangatlah berjasa, tanpa petani padi tidak akan menjadi semangkok nasi. Sejak kecil Anton selalu melihat jerih payah sang ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepatu sekolah yang biasa Anton kenakan sudah terlihat bolong. Sepatu bolong ini seakan sudah lelah menemani Anton yang tak pernah berhenti untuk bersekolah.
“Ayah, sepatu ku bolong” ucap Anton kepada sang Ayah.
“Besok jika Ayah mendapatkan rezeki kita beli sepatu ya ton” jawab Ayah. Pak Rahmat hanya memberikan sebuah ucapan penenang saja untuk Anton, ia hanya bisa mencarikan sepatu bekas di pasar untuk Anton. Memang semiskin itu kehidupan mereka tapi menurutnya yang penting masih bisa di pakai untuk bersekolah. Anton berangkat sekolah dengan mengenakan sepatu pemberian sang ayah dengan penuh rasa bangga. Sepatu itu memang tidak baru, ada beberapa goresan di permukaannya, ukuran yang mungkin sedikit terlalu besar dan bahkan di bagian sol terlihat sedikit aus. Tapi bagi Anton, sepatu itu lebih berharga dari apa pun. Anton tidak merasa malu tentang keadaan kehidupannya yang mungkin berbeda dengan anak anak seumurannya, semasa SMP ia rela ikut bekerja sebagai kuli bangunan supaya tidak bergantung kepada ayahnya saja, sepulang sekolah ia selalu langsung bergegas pergi ke tempat pembangunan untuk bekerja. Ya, upahnya tidak seberapa namun dengan upah tersebut Anton bisa menabung untuk kebutuhan dirinya sendiri tanpa merepotkan sang ayah. Selama ia bekerja sebagai kuli, ia sering di bully oleh teman teman nya karena Anton menolak ajakan teman teman yang dalam pemikiran nya hanya bermain dan berfoya foya saja.
Jam pun menunjukkan pukul 15.00, dan bel sekolah berbunyi menandakan bahwa sudah waktunya pulang sekolah. Saat itu Dimas teman sekelas Anton mengajak Anton pulang sekolah sekaligus bermain PS di warnet.
“Ton, ayo main ps!” ajak Dimas memaksa.
“Gak dulu mas, aku sibuk bekerja kamu main saja” jawab Anton.
“Hah? Kamu kerja ton? “ saut Dimas tertawa sekaligus meremehkan Anton yang merasa sok bekerja.
“Iya mas, kamu kok tertawa kenapa?” tanya Anton kebingungan
“jangan ngaco deh Ton, sok sok an kerja, kerja apa emang kamu hah? gaya banget sudah merasa dewasa ya pftttt”, saut Dimas sambil tertawa terbahak bahak melihat Anton.
“Ya terserah kamu ngomong apa mas”, jawab Anton mengacuhkan Dimas lalu pergi begitu saja.
Namun Dimas tidak terima di acuhkan Anton begitu saja ia menarik tangan anton dan berkata