Hari yang indah untuk memulai sebuah kegiatan. Amanat besar sedang kupikul, membantu sesame dalam mendapatkan pendidikan sesuai jenjangnya. Aku tidak akan mengeluh tentang bagaimana semua hari berat datang menimpaku, aku juga tidak akan berbicara tentang bagaimana tugas-tugas berat itu mampu membuatku merasa sangat sial. Aku hanya ingin bercerita tentang sosoknya yang ada di setiap hari berat itu tapi, dengan segala keterpaksaan aku harus menghapus semua jejak tentang dirinya dari ingatanku.
Sebut saja ia Dion, pria dengan tinggi 173 cm dengan paras yang hampir meleset dari kata sempurna. Sebuah arti rasa yang unik kutemukan pada dirinya. Alasan rasa itu tumbuh bukanlah karena wajahnya yang tampan, senyumnya yang manis, ataupun kemiripan nya dengan bias idol kpopku. Ia tidak mempunyai semua itu. Tapi, entah mengapa aku bisa merasakan rasa itu ada pada diriku. Awal mula rasa itu ada pun aku tidak menyadarinya, tiba-tiba saja aku sudah terjebak dan jatuh terlalu dalam.
Awal pertemuanku dengan dirinya hanyalah menimbulkan rasa kebencian. Aku bahkan langsung mengeluarkan deklarasi kebencianku terhadapnya melalui tatapan mataku. Dan kebencian itu akhirnya menjadi jebakan tersendiri karena dari rasa benci itulah semua tugas-tugasku ku kerjakan bersama dengannya. Seiring berjalannya waktu rasa kebencianku memudar karena aku melihat sosok dirinya yang mau bekerja keras dan mau mencari tahu.
Semakin banyak hari yang kuhabiskan bersamanya semakin hilang rasa kebencianku dan aku mulai merasa kagum dengannya. Sampai pada satu titik dimana aku mulai tidak peduli dan buta dengan keadaan. Aku mulai menyukai dirinya. Aku tidak tahu pasti atas kejadian apa aku mulai menyukainya tapi yang pasti, rasa ini sangatlah kuat. Semua ini berkat rasa kagumku padanya bahkan pada hal-hal kecil sekalipun. Di saat-saat ini intuisiku mengatakan dengan kuat bahwa dirinya adalah tempat yang sangat nyaman. Ia selalu menjadi diary berjalanku, apapun itu aku selalu bercerita padanya bagai sang pendongeng. Ia juga menjadi kotak P3K berjalanku. Ia adalah penolong pertamaku di saat aku menghadapi masalah.
Setelah semua yang ku lalui dan aku menyadari perasaanku ini, rasa egois juga tidak ingin ketinggalan memainkan perannya. Ego memang tidak bisa dipisahkan dengan manusia. Aku mulai merasa sakit dan marah saat dirinya dekat dengan orang lain namun, di saat yang bersamaan aku menyadari bahwa aku tidak bisa menyalahi bahkan melarang haknya untuk dekat dengan orang lain. Dari kesadaran itulah aku dengan yakin berkata kepada logika, hati dan diriku bahwa aku akan baik-baik saja jika aku memendam rasa ini sendirian. Karena aku takut jika aku biarkan rasa ini terlihat dengan jelas aku menjadi lebih egois dan akhirnya kesempatanku untuk berteman dengannya juga akan hilang.
Hari demi hari ku lewati masih dengan rasa yang sama namun dengan sakit yang terus bertambah. Sebuah resiko yang sangat menyayat hati memang telah ku ambil. Terkadang aku merasa lucu jika mengingat beberapa momen bersamanya. Saat aku ingin pergi ke suatu tempat, ia pasti akan langsung mengantarku. Saat aku lapar, ia langsung mengajakku mencari warteg terdekat. Saat aku bingung akan tugas yang aku kerjakan ia akan duduk disampingku dan mengarahkan cara mengerjakan yang tepat dan masih banyak lagi. Di cerita ini ia memperlakukan layaknya prioritas. Memang setiap yang diceritakan tidaklah seindah realita yang terjadi. Semua hal yang kusebutkan tadi hanyalah cerita semata dan mungkin bagi kalian yang pernah merasakan hal yang sama akan beranggapan bahwa hanya aku lah yang merasa demikian akan tetapi tidak dengannya.
Sampai akhirnya  ketika aku tidak dapat memendam rasa suka ini lebih lama lagi, aku memberanikan diri memberitahu dirinya. Dalam pikiranku saat itu, tidak peduli apapun balasannya aku tetap harus memberitahunya. Aku ingin semua kesalahpahamanku menjadi jelas dan aku tidak ingin melukai hatiku lebih lama lagi. Terhitung 1 tahun rasa ini ku pendam dengan anggapan bahwa mencintai dalam diam adalah hal saat ini bisa kulakukan. Tak lama setelah anggapan itu ku ucapkan, kenyataan menampar diriku dan menyayat hatiku lebih dalam lagi. Aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Logika dan egoku terus berperang yang jika terus kubiarkan, aku mungkin akan kehilangan dirinya sebagai orang yang kusuka dan sebagai teman.
Sehari sebelum pemberitahuan itu, air mataku terus mengalir. Seperti orang bodoh, aku menangisi seseorang yang bahkan belum tentu pantas menerima air mataku. Dalam tangisan itu aku memohon pada Tuhanku "Jika memang dia bukanlah orang yang tepat untuk diriku, segeralah tunjukkan sisi buruknya padaku, agar aku tidak mengharapkan sesuatu darinya." Â Aku berusaha menegakkan logika ku di atas hatiku yang rapuh. Aku berusahan meyakinkan diriku bahwa apapun yang terjadi setelah ini, aku akan baik-baik saja sama seperti saat aku belum mengenal rasa ini.
Namun, sebuah ketidakpastian malah menghampiriku di saat aku memberitahu dirinya akan rasa ini. Dia hanya terdiam tanpa membalas sepatah katapun. Bagai aku berbicara pada patung, hanya kesunyian yang ku terima. Kesunyian itu membuatku mengambil keputusan. Aku dengan sukarela mengundurkan dari perang rasa ini. Tameng pelindung hatiku sudah hancur, pedangku juga sudah patah dan tumpul. Untuk memperbaiki keduanya akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
"Kau tidak akan memutuskan hubungan pertemanan ini denganku bukan?" Ia bertanya dengan wajah sendu yang tidak akan pernah bisa kuartikan.
"Kita akan tetap berteman. Tenang saja. Aku hanya perlu waktu untuk mendirikan pondasi rumahku yang hancur kemarin. Saat rumahku sudah siap dan mempunyai pagar yang kokoh aku akan menghubungimu dan mengundangmu ke rumah baru ku." Satu-satunya yang bisa kuucapkan sebagai jawaban untuknya adalah kiasan ini.