Manipulatif seringkali dikaitkan dengan hal-hal berbau negatif. Penggambaran tokoh villain pada film maupun komik seperti The Joker, Hannibal Lecter atau Alex Delarge kerap menjadi ikon buruk sosok-sosok manipulatif yang menggunakan kontrol emosi dan pengetahuan sebagai kekuatan utama mereka. Bukan hanya dalam dunia fiksi, beberapa pemimpin diktaktor juga sering dilekatkan dengan stigma tersebut, ambil contoh seperti Adolf Hitler. Namun, apakah sikap manipulatif selalu berakibat buruk? Apakah ada sisi lain dari sifat manipulatif yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari? Atau bahkan anda sendiri termasuk ke dalam kelompok ini?
Jika dijabarkan, manipulatif adalah sikap memanipulasi individu maupun kelompok. Sementara itu, manipulasi sendiri berarti upaya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memberikan pengaruh, baik berupa perilaku, sikap ataupun pendapat dengan tanpa sadar. Jika dibaca sekilas, hal ini tampak seperti sesuatu yang buruk. Namun, manipulatif bisa menjadi hal yang baik dan bahkan dibutuhkan pada situasi-situasi tertentu. Sikap manipulatif dikaitkan dengan kemampuan membaca situasi secara mendalam, yang juga ditambahkan dengan kemahiran dalam merebut perhatian orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak pribadi. Faktanya, pada beberapa profesi, sikap ini dibutuhkan karena dapat membawa pengaruh positif kepada banyak orang. Bayangkan jika seorang pemimpin tidak memiliki kecerdasan ini, maka siapa yang akan menaruh simpati kepadanya? Apakah akan ada orang yang mau menjadi pengikutnya? Lalu, bayangkan jika seorang guru atau psikolog tidak memiliki kemampuan ini, apakah mereka mampu untuk membentuk orang lain menjadi lebih baik? Bagiamana dengan seorang seniman yang tidak mampu memanipulasi perasaan masyarakat luas untuk terhubung dengan karya seninya? Dan juga seorang penulis yang menuangkan kata-kata untuk membuat orang lain percaya akan ideologi dan fantasinya? Itu semua adalah contoh kecil perilaku manipulasi individu maupun kelompok.
Akan tetapi, dalam pandangan saya, hal ini merupakan wilayah yang cukup abu-abu, sehingga tidak banyak orang yang menggunakan kata manipulatif untuk mendeskripsikan perbuatan kebaikan. Â Daripada menyebutnya sebagai sikap manipulatif, kita semua lebih sering menyebutnya sebagai karisma. Saat seorang pemimpin mampu membawa pasukannya kepada kemenangan, kita menyebutnya sebagai karisma. Saat seorang guru mampu membuat muridnya patuh, kita menyebutnya sebagai karisma. Menurut saya, dua hal tersebut adalah hal yang berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Mari kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, Karisma adalah keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya. Karisma sendiri merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan untuk dapat menggerakkan sebuah individu, kelompok, bahkan negara maupun agama. Jika ditelaah dengan seksama, bukankah hal tersebut juga termasuk manipulatif, walaupun untuk kepentingan yang baik? Untuk menjadi manipulatif, anda membutuhkan karisma. Jika seseorang memuji karisma anda, berarti anda telah bersikap manipulatif di dalam lingkungan sosial anda. Jika anda tidak manipulatif, bagaimana bisa orang lain menyebut anda seperti itu?
Saya teringat dengan psikolog pertama yang saya kunjungi, yaitu Dokter Nessie (nama samaran) yang hingga saat ini masih saya hormati. Pada saat pertama kali saya mengunjunginya, beliau tidak segan-segan melontarkan kalimat yang tajam dan faktual, namun padat dan berisi. Dalam artian, ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh beliau seringkali sulit untuk diterima secara pribadi oleh saya yang merupakan seorang perasa. Namun, secara tanpa sadar, saya yang tadinya cukup denial terhadap kenyataan yang harus dihadapi, perlahan mulai menyetujui nasehat Dokter Nessie. Apakah yang ia katakan kepada saya adalah kebenaran? Sebagai seorang dokter, tentu saja segala perkataan yang terlontar dari bibirnya mampu untuk dipertanggungjawabkan secara adil dan serius. Lalu, bukankah seharusnya saya langsung saja mempercayai dan menuruti perkataannya? Ya, idealnya begitu. Akan tetapi, saya telah memikirkannya secara mendalam, bagaimana jika pada saat itu ia mengatakannya dengan cara yang lebih halus? Bagaimana jika pada saat itu, Dokter Nessie melakukannya dengan cara yang lebih empatik? Seandainya ia melakukan pendekatan yang lebih mengutamakan keterbukaan hati daripada logika, bukankah saya akan lebih cepat mempercayai dan melakukan apa yang diperintahkan olehnya? Mungkin saja. Walau bagaimana pun, Dokter Nessie berhasil "memanipulasi" saya menjadi sosok yang lebih stabil seperti sekarang dan itu adalah fakta yang tidak bisa saya manipulasi.
Kesimpulan dari hasil renungan ini adalah bahwa setiap individu memiliki keinginan akan kontrol, tergantung dengan tingkat keparahan dan tujuannya secara garis besar. Konon, refleksi mendalam ini juga berfungsi sebagai pengingat bagi diri saya sendiri. Dalam rangka mengambil hati seseorang maupun kelompok, pendekatan yang tepat juga diperlukan. Tentu saja hal ini harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta demografi lawan bicara. Pesan dan kesan yang dapat saya berikan pada tulisan singkat ini adalah mengenai motif dibalik suatu tindakan. Kata sifat tidak selalu mutlak, kadang pula bersifat ambigu. Baik atau tidaknya sebuah tindakan bergantung kepada kemurnian niat seseorang. Jika anda menyadari adanya sifat manipulatif dalam diri anda, maka hal tersebut tidak harus berakhir buruk. Gunakanlah kemampuan itu untuk keberlangsungan sosial, dengan tetap menghormati hukum serta norma sosial yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H