Generasi Z acap kali dibingkai sebagai pemilik era digital. Generasi yang melek teknologi dengan segudang kreativitas yang menjadikannya harapan bagi kemajuan suatu bangsa. Namun, yang luput dari perhatian kita semua adalah bagaimana generasi Z tak lebih dari sekadar sasaran empuk kapitalisme. Â
Dugaan ini datang tatkala saya mencari dengan kata kunci "Gen Z pengguna Paylater" melalui search engine dan hasilnya tak sedikit artikel yang membahas soal dominasi kelompok muda tersebut sebagai penikmat jasa Paylater.
Menariknya, apa yang saya dapatkan melalui artikel-artikel tadi, ternyata sangat mudah untuk menemukan realitasnya di kehidupan sehari-hari. Saya mencoba ngobrol dengan beberapa teman pengguna Paylater.
Zahra (bukan nama sebenarnya), adalah mantan karyawan swasta di Surabaya. Â Perempuan berusia 21 tahun ini mengaku kerap menggunakan Paylater untuk membeli bermacam barang seperti skincare, make up, baju, dan tas. Lingkungan dan apa yang dilihatnya di sosial media menjadi faktor penentu terbesar mengapa ia memprioritaskan membeli barang-barang yang menunjang penampilan wajah hingga fashionnya.
"Bunda, adik-adikku, sekarang udah modis banget, pintar make up. Ya, masa aku sendiri engga. Terus kalau lihat di Tiktok banyak juga konten tutorial atau produk skincare, make up yang lagi rame. Itu bikin aku penasaran pengen nyoba," katanya.
Paylater tak serta merta menawarkan kemudahan dalam mendapat dana segar secara instan. Ada konsekuensi yang harus ditanggung Zahra ketika dirinya melewatkan jatuh tempo tunggakan Paylaternya.Â
Saat itu ia belum benar-benar paham terkait aturan sistem paylater, tetapi sudah nekat untuk mencoba. Kemampuan manajemen keuangan yang buruk semakin memperparah masalahnya.
"Kalo Paylater, semisal kamu kelewatan bayarnya (dari tanggal yang sudah ditentukan), itu kan ada denda. Nah, aku pernah sekali. Tak pikir, halah berapa sih dendanya, palingan juga kecil. Di situ aku baru tau, kalau dendanya ada berapa persennya gitu, aku lupa. Ternyata pas kena, wih lumayan juga, sekitar 25.000 atau 30.000an gitu," jelas Zahra.
Problem kebelet meng-check out barang ketika isi dompet sedang kosong nyatanya tak hanya dialami Zahra sebagai salah satu dari banyaknya anak muda yang tumbuh di kota besar seperti Surabaya.Â
Cerita juga datang dari generasi Z di kota kecil di Jawa Timur. Gian (nama disamarkan) adalah kenalan dari salah seorang teman di kampus. Â Kesibukan utamanya saat ini sebagai mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kediri.
Gian terhitung aktif melakukan membeli produk fashion secara online. Ia merasa perlu untuk memperhatikan bagaimana memadupadankan gaya berpakaiannya saat di kampus. Rapih dan bersih saja menurutnya tak cukup.