Belakangan ini ramai pemberitaan tentang ancaman Kominfo ke sejumlah platform digital yang tak mendaftarkan diri. Istilah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" tampaknya berlaku dalam hal ini. Harusnya PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) seperti Whatsapp, Twitter dan lainnya mau mengikuti aturan negara kita sesuai istilah di atas.Â
Google sendiri kabarnya hari ini telah mendaftarkan dirinya yang artinya masih menjunjung aturan di negeri ini. Lantas kenapa platform digital lain masih belum berkabar?
Permintaan Kominfo bukan tanpa sebab karena negara juga merasa bertanggung jawab akan data dan konten yang disebarkan masyarakat kita. Jangan karena platform tersebut telah digunakan puluhan juta penduduk lantas semana-mena pada hukum yang berlaku.Â
Anehnya masih ada saja masyarakat hingga politisi yang malah membela platform digital yang tak taat aturan tersebut. Per hari ini sudah hamper 5000 orang yang menandatangani petisi untuk menolak aturan Kominfo.
Mereka yang meragukan ancaman Kominfo beralasan kalau media platform yang hendak diblokir tersebut bisa berujung pada toko online, game online dan situs penting lembaga atau pemerintah. Mereka masih saja mendukung PSE yang tak taat aturan karena dianggap memiliki peran penting dikehidupan masyrakat.Â
Ini sama saja meloloskan pelaku pencurian lantaran yang bersangkutan dianggap sering sedekah. Kalau begitu caranya para koruptor sekalian tak usah dihukum kalau mereka gemar zakat, berinfak dan bagi-bagi sembako.
Padahal sebagai masyarakat pintar kita harusnya bisa memilah mana layanan yang taat prosedur dan tidak. Itulah makanya Google cepat-cepat mematuhi regulasi karena tahu dampak ke depannya seperti apa. Harusnya yang dibuatkan petisi untuk segera mendaftar adalah PSE yang tak patuh prosedur, buka malah Kominfonya.Â
Karena pemerintah sendiri juga sering kena getah jikalau banyak konten hoaks bertebaran yang meresahkan. Di saat pembenahan dilakukan, dukungan yang diharapkan malah justru menyerang.
Semoga saja Whatsapp, Instagram dan Twitter segera mencontoh langkah Telegram dan Google untuk segera mendaftarkan layanan. Andaikata para PSE tersebut masih bersi keras tak taat aturan, ini saatnya masyarakat beralih ke platform alternatif lainnya.Â
Telegram misalnya, bisa dijadikan alternative pilihan untuk menggantikan Whatsapp. Meski sejauh ini ada beberapa kelemahan seperti tidak adanya fitur untuk mengunggah status atau story. Tapi, kita yakin seiring bertambahnya pengguna dan permintaan, fitur tersebut tak mustahil untuk ditambahkan.
Selain itu, dengan adanya pemblokiran pada platform level internasional akan menumbuhkan platform buatan lokal dengan sendirinya. Kalau motor hingga mobil listrik saja bisa diproduksi, apalagi Cuma platform digital seperti saat ini.Â