Tahun 1999 : "Detik-Detik Yang Mencekam"
Semua Di Tinggalkan Dan Menjadi Pengungsi Di Tanah Leluhurnya SendiriÂ
(Kisah Nyata)
Oleh : Kayetanus Kolo
Saya baru selesai kuliah Diploma Tiga(D3). Mungkin karena saya sedikit punya kemampuan lebih maka saya diminta oleh kepala SMPK Aurora Kefamenanu untuk membantu mereka di sekolah itu.
Sekolah itu memiliki jumlah siswa yang tidak terlalu banyak. Tiap tingkatan kelas hanya satu rombel. Sebagai guru honorer di sekolah itu, oleh kepala sekolah saya diberikan satu ruang kecil di ujung kelas, bekas kantor sekolah.
Ruangan itu hanya memiliki satu pintu yakni pintu depan. Saya sangat bahagia karena dari semua mahasiswa hanya saya boleh dibilang beruntung karena yang pertama memilki pekerjaan. Perlengkapan dapur yang saya gunakan selama kuliah dan barang-barang lain kini berpindah tempat dari asrama ke ruang kecil itu.
Di halaman sekolah ada sebuah sumur yang air selalu ada. Ada satu pohon mangga di sudut ruang yang saya tempati sehingga di kala siang pohon itu dijadikan tempat bernaung. Status saya sebagai mahasiswa meski belum dikukuhkan saat itu berubah menjadi pak guru.
SMP Katolik Aurora Kefamenanu berhadapan dengan KODIM 1618 Timor Tengah Utara (TTU), tepatnya di Jalan Jenderal Ahmad Yani KM 2-Kefamenanu Selatan.
Upah yang saya terima setiap bulannya sebagai guru honorer di sekolah itu Rp.50.000. Maklum sekolah kecil dengan siswa tidak seberapa. Namun sebagai guru muda saya senang saja. Bulan Juni akhir di tahun 1999 saya dipanggil oleh kepala sekolah Pak Yosep Lelan namanya dan diminta kesediaan saya memperkuat barisan para guru di sekolah itu saya bersedia meski mata pelajaran yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang saya tekuni selama dibangku kuliah.