Indonesia saat ini bukan lagi negara anggota OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), tapi OPIC (Organization of the Petroleum Importir Countries).
Tanya kenapa? Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) menurut pemerintah sebesar 1,4 Juta /Hari sedangkan Produksi dalam negeri hny mampu menyediakan 500.000, sehingga pemerintah membuat kebijakan Impor 900.000 barel.
Persediaan Migas di kandungan alam cukup besar jika saja pengolahannya bisa dikelola penuh oleh Pertamina. Ekspor migas mentah memicu kelemahan inovasi migas, Perusahaan asing yang notabene mengeruk keuntungan pengolahan Migas harus cepat ditransformasikan kepemilikan lahannya di beberapa blok2 minyak kepada ahli-ahli dalam negeri.
Salah satu kebijakan yg harus diseriusi adalah produk ekspor Migas yg bukan lagi "produk mentah", melainkan produk siap pakai yang notabene akan meningkatkan nilai ekspor harga migas. Tata kekelola migas Indonesia sepatutnya tidak mengalami degradasi menjadi importir jika pemerintah berani berinvestasi jangka panjang terhadap pengelolaan Migas Indonesia.
Tidak ada kata trlambat untuk inovasi kebijakan migas Indonesia, jika dibandingkan nantinya berefek kenaikan BBM seperti di negara2 Eropa yg menembus angka Rp. 20.000 - 25.000 /Liter. Belum lagi itu ditambah dengan pajak lingkungan hidup untuk mewujudkan Green City.
Efek kenaikan BBM, seperti efek domino yg memicu kenaikan harga bahan pokok dan barang lainnya. Berapa lagi jumlah angka kemiskinan yg brtambah? Brapa lg orang krg mampu yg tak dapat mengakses pendidikan dan kesehatan. Semoga kita bisa memerintah di Negara kita sendiri dan lebih dpt bangga dengan Made in Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H