Dan ini bermula ketika diskusi kami seputar konektivitas antara Massa dan Elite di Kelas, diskusi yang pada akhirnya membawa kami pada perbincangan tentang politik di Indonesia dan Malaysia tentang bagaimana percaturan politik di negara serumpun. Berbicara politik maka ini barang tentu tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi, Demokrasi yang ada di Malaysia mengutip tulisan Ahmad Sahidah dalam Kompas (2008) yang mengambil pendapat Francis Loh Kok Wah (2002: 4) dalam Democracy in Malaysia: Discorse and Practice bahwa demokrasi yang dipraktikkan di negeri jiran tak lebih dari demokrasi prosedural. Sehingga hal ini menyimpulkan demokrasi Malaysia sebagai quasi-demokrasi (Zakaria, 1988), semi-demokrasi (Case, 1993) dan demokrasi yang dimodifikasi (Crouch, 1993).
Peta politik di Malaysia saat ini terbagi dua, Pro pemerintah yaitu Barisan Nasional dan Oposisi yang digawangi oleh Pakatan rakyat, ini seperti koalisi partai yang ada di Indonesia seperti koalisi kebangsaan yang dapat dikatakan sebenarnya tidak pure pro pemerintah atau dapat saya katakan sebagai “Semi-Pro”. Kembali ke topik awal tentang ketua kampong dan politik, maka di Malaysia sebenarnya ketua kampong merupakan representative masyarakat dan menjadi hal yang lebih urgensi ketika pilihan raya umum (Pemilu-Indonesia) semakin didepan mata masyarakat Malaysia. Pertanyaanya timbul ketika ketua kampong di Malaysia notabene menjadi panutan akan Political Belief bagi masyarakat dalam tipologi prilaku pemilih terutamanya masyarakat urban Malaysia dikarenakan ketua kampong sendiri dipilih dengan cara demokratis “One Man One Vote” dan hal ini juga sudah menjadi trend di Indonesia dimana ketua rukun tetangga (RT) menerapkan pemilihan langsung.
Peranan ketua kampong di lingkungan masyarakat dimanfaatkan sebagai panutan bagi warga didasari juga dengan “Patron-Client” yang sangat erat di Malaysia namun hal ini tidak berlaku di daerah perkotaan berdasarkan asumsi dosen pengajar saya yang memandang kekuatan peran dari ketua kampong tidak dapat dijadikan sebagai estimasi perolehan suara di masyarakat perkotaan seperti di Kuala Lumpur tegasnya.
Hal menarik muncul ketika diskusi berlanjut dengan komentar tentang studi di suatu derah di Kedah, Kedah merupakan salah satu dari 13 negeri kalau di Indonesia serupa dengan provinsi. Ketua Kampung disini dilantik atau diangkat oleh YPP lebih tepatnya Yang Dipertua dan jika dipandang oleh pemerintah ketua kampong tersebut bersebrangan (cenderung oposisi) maka akan dua kepala kampong. Lalu muncul pertanyaan bagaimana mungkin ada dua matahari dalam satu alam?. Malaysia yang sejatinya masih dapat dikatakan negara yang memegang otokrasi dalam sistem pemerintahannya dimana pemerintahnya saat ini dikomandoi oleh Tun Najib Razak sebagai perdana menteri sejatinya masih mengekang kebebasan berpolitik terutamanya untuk mahasiswa dan ini merupakan hasil wawancara terhadap beberapa mahasiswa yang identitasnya dirahasiakan. Dan sebagiannya lagi menanggapi dengan berpolitik itu setelah mereka lulus kuliah maka hal ini semakin menguatkan asumsi saya bahwa Civil Liberties Malaysia masih dalam tahap pembangunan seraya mengaitkan dengan data Democracy Index 2011 yang dirilis oleh Economic Intelegent units dimana menempatkan Malaysia pada posisi 71 dibawah Indonesia dan Thailand untuk kawasan Asean.
Ketua kampong memegang peranan penting namun jika melihat dimana oposisi Malaysia memenangkan pertarungan di kawasan negeri Selangor Darul Ehsan (Wilayah Persekutuan) dimana di kawasan itu merupakan kawasan industry dan jantung kota Malaysia maka peranan ketua kampong menjadi kurang menjadi perhatian khalayak dan ketika berbicara masyarakat urban maka ketua kampong lebih menjadi patokan dalam hal referensi politik masyarakat. Pertarungan poltik dalam Pilihan Raya Umum ke-13 di Malaysia sangat menarik disimak, dikarenakan pertarungan ini seperti El-Clasicco dimana oposisi yang berkeinginan memburu Putra Jaya-Pusat Pemerintahan Malaysia dan Barisan Nasional yang ingin mempertahankan bentengnya pada PRU-13 ini. Mari sama-sama kita lihat juga bagaimana preferensi politik masyarakat urban dalam menyikapi angin perubahan atau tetap dalam pilihan klasik bersama pemerintah saat ini.
Shahril Budiman | Tanjungpinang-Kepulauan Riau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H