Mohon tunggu...
Joko Lodang
Joko Lodang Mohon Tunggu... -

Akun ini dikelola oleh kuartet Sarjono, Eko, Marcello, dan Endang (disingkat JOKO LODANG). Kami berempat menolak hegemoni oleh siapapun dan dari apapun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sri Sultan yang Malu-Malu Mau

2 Juli 2012   01:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:21 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernyataan Sultan HB X hari ini di halaman 2 KOMPAS soal mau tidaknya dicalonkan sebagai calon wakil presidennya Ical  terbaca seperti “malu-malu mau”. Jawaban raja Jogja itu “jangan dulu lah, saya belum mau dicalonkan”. Artinya, mau juga suatu saat dicalonkan jadi wapresnya Ical juga. Sebagai politisi memang lebih baik menjawab “mungkin”, “belum” daripada “tidak pernah” atau “sama sekali”. Ya raja jogja ini memang politisi, toh dia juga pengurus Golkar, walau tadinya sempat loncat kandang ke Nasdem tapi terus kembali balik kucing.

Yang bikin raja Jogja ini kadang-kadang kurang paham etika politik adalah ketika dia menginginkan penetapan sultan sebagai gubernur DIY, tapi di sisi lain dia juga membuka kemungkinan untuk mau tampil sebagai wapresnya Ical atau wapresnya siapapun (entah wapresnya Prabowo, Hatta, Mega). Kalau memang mau berkhidmat untuk menjadi raja-nya masyarakat Jogja dengan penetapan, sebaiknya Sultan ini ya tidak perlu membuka-buka lowongan politik untuk jadi RI1 atau RI2. (Mungkin sekarang fokus Sultan untuk mengejar RI2, karena pilpres 2009 lalu ketika mau nyalon untuk RI1 ternyata tidak laku oleh partai-partai lain).

Ternyata raja juga manusia biasa yang tak lepas dari kepentingan-kepentingan politik dan kebutuhan untuk eksis. Boleh lah punya keinginan politik, tapi sebaiknya juga menjunjung tinggi etika politik, jangan malah jadi (maaf) rakus jabatan. Ke dalam, Sultan menginginkan penetapan supaya jabatan rangkapnya sebagai raja dan gubernur terus langgeng dan lestari serta abadi, sementara ke luar, sang raja menawar-nawarkan diri (tentu dengan cara menjual ke-”mungkin”-an tadi itu) sebagai cawapres. (By the way, sebenarnya agak mengherankan juga, mengincar jabatan kok untuk posisi kedua, bukan yang pertama. Hati-hati lho, itu bisa diartikan jangan-jangan memang lebih berpikir soal posisi, bukan soal pengabdian).

Ingat lho. Kehancuran seseorang itu karena dia rakus, padahal seharusnya bersyukur karena Tuhan sudah mencukupkan rejeki atasnya. Sama halnya dengan bumi kita ini. Semuanya sudah tersedia untuk manusia, tapi menjadi tidak cukup karena sifat tamak manusia yang ingin mengeruk segalanya. Jika manusia atau raja sudah menuhankan dirinya sendiri, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.

Jika Sultan ditanya kembali soal pencalonannnya, sebaiknya dijawab tegas saja: Ya saya siap dicalonkan sebagai cawapres Ical (atau capres yang lain),  dan saya siap menyerahkan kekuasaan Jogja untuk HB XI. Atau, saya menolak untuk dicalonkan jadi cawapres (atau capres lagi) karena saya akan mengabdi untuk masyarakat Jogja. Sikap ini lebih etis, sikap negarawan bukan politisi, lebih terhormat daripada terkesan menjual diri untuk jabatan politik. Betul?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun