Pembahasan RUUK DIY oleh DPR dan pemerintah pusat telah berjalan sangat panjang. Bahkan, akan diperpanjang lagi selama satu tahun berikutnya. Banyak faktor yang menyebabkan alasan mengapa RUUK ini tak kunjung ditetapkan. Bisa karena partai-partai di DPR lebih memilih mengurusi RUU Politik Pemilu yang lebih menyangkut langsung nasib mereka 3 tahun lagi, bisa jadi juga karena memang masih terjadi debat alot soal pertanahan, kekuasaan raja kelak jika jadi ditetapkan, atau bisa jadi juga memang sejatinya rakyat Jogja tidak sama sikapnya soal RUUK ini karena bisa jadi tidak semuanya juga menginginkan penetapan sebagai bentuk keistimewaan.
Kalau melihat bagaimana kondisi sosiologis masyarakat Jogja yang menginginkan adanya RUUK dalam bentuk penetapan tersebut, rasanya berbeda sekali dengan kondisi sosiologis masyarakat seperti di NAD atau Papua ketika masyarakat setempat menginginkan aturan syariah atau otonomi khusus. Dua daerah itu jelas yang dibela siapa, yaitu rakyat setempat. NAD adalah hasil bargaining antara pemerintah pusat dan GAM yang menginginkan tegaknya syariah di tanah rencong tersebut. Itu dicapai dengan penuh derita dan pengorbanan.
Masyarakat Papua pun sama. Mereka menuntut otonomi khusus karena sebelumnya berpuluh-puluh tahun tertindas oleh rejim dan termarginalisasi dari sumber daya alam sehingga mereka ingin mengurus dirinya sendiri lebih khusus.
Bagaimana Jogja? Inilah bedanya yang membuat gamang sebenarnya yang mau dibela dengan konsep penetapan dalam RUUK itu apa dan siapa. Apakah rakyat Jogja atau jangan-jangan cuma pelanggengan kekuasaan oleh Kraton dan para kroninya? Apakah betul alasan sejarah bahwa “ijab qabul” 5 September 1945 itu artinya bahwa penetapan selamanya Sri Sultan “ingkang jumeneng” sebagai gubernur DIY? Sangat multitafsir sebenarnya.
Jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang selama ini getol mengusung pro-penetapan, apakah betul founding father negeri ini, yaitu proklamator Soekarno punya konsep penetapan kekuasaan yang dihasilkan dari keturunan seperti di Jogja ini? Saya yakin Soekarno bukan penganut penetapan karena tidak mungkin penetapan itu membela kaum Marhaen dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika menyeleweng. Kecuali, Sultan itu nabi yang sempurna.
Penetapan yang tak kunjung ditetapkan ini membutuhkan telaah yang lebih kritis dan jangan sampai hanya akan menjadi kuda troya Kraton untuk menancapkan dominasi bisnis, politik, dan kulturalnya di Jogja hanya karena sejarah.
Jika yang terjadi demikian, maka sejarah hanya akan selalu ditulis oleh orang-orang yang kuasanya besar. Memaksakan penetapan karena alasan sejarah ibarat “asu gedhe menang kerahe”: Kraton yang punya kuasa membiarkan pembungkaman terhadap mereka yang menginginkan pemilihan.
Jika demikian, berarti dalam penetapan terkandung unsur pemaksaan dan kekerasan konseptual yang hasilnya pasti tidak akan adil bagi rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H