Mohon tunggu...
Faiz Amanatullah
Faiz Amanatullah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UMY

Hanya seorang mahasiswa kampus matahari terbit (UMY). Jurusan Pendidikan Agama Islam Announcer and Reporter MQ FM JOGJA (92.3 FM) yaaa sehari-hari aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Udah gitu aja Motto: Sunyi adalah bunyi yang sembunyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Isra' Mi'raj Ditengah Krisis Kepemimpinan Bangsa

11 April 2019   21:39 Diperbarui: 11 April 2019   22:22 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, tidak hanya Muslim yang tengah dilanda krisis peradaban yang ditandai dengan berbagai macam konflik dan degradasi moral yang makin banyak diberitakan di berbagai  media massa. Tentu hal ini juga sebagai bukti nyata bahwa pendidikan nasional belum mampu untuk membangun manusia Indonesia yang beradab, adil, dan makmur. 

Di sisi lain, peradaban Barat yang kita kenal dengan pengetahuan (sains) dan penerapannya (teknologi) juga tengah mengalami krisis.  Secara inheren, sains dan penerapannya telah menjelaskan bahwa dirinya sedang mengalami krisis yang bahkan lebih parah, yaitu ditandai dengan teknologi yang sudah tidak ramah terhadap lingkungan, sehingga menyebabkan polusi dan musim yang tidak menentu. Muaranya, ekosistem saat ini dalam kondisi yang sangat labil akibat ulah campur tangan manusia yang memiliki kepentingan material dan melupakan sisi kemanusiaan.

Seoang ulama yang bernama Naquib Al-Attas mengatakan, "Telah dan sedang terjadi semacam dominasi pemahaman kita tentang realitas oleh Barat yang sekuler, karena itu pemahaman kita tentang realitas yang bersandar pada atau berangkat dari teori Barat sekuler merupakan wujud nyata dari penjajahan intelektual." (Saefuddin, 2010).

Ungkapan seorang Naquib Al-Attas yang juga penggagas Islamisasi sains menunjukkan bahwa kita sebagai Muslim harus merdeka dari segi pemikiran, ucapan, dan sikap subjektivitas Barat yang menjelma sebagai sains dan teknologi yang cenderung dehumanistik itu. Sebagai contoh, menjadikan manusia sebagai objek ekonomi kaum elite dan melakukan eksploitasi alam secara besar-besaran untuk meraup keuntungan. Begitu juga keadaan sekarang, terdapat pemimpin yang menggunakan kekayaan alam serta menggunakannya untuk kepentingan pribadi dan segelintir orang.

Maka dari itu, berbagai macam upaya telah dilakukan segelintir pengemban dakwah untuk menyatukan hati agar merasakan kembali manisnya iman sebagai pijakan hidup. Karena imanlah yang mampu menggerakkan hati untuk melihat kondisi seperti ini. Karena iman adalah persoalan hati, sedangkan sikap dan perbuatan hanyalah hasil interpretasi.

Ada sebuah hikmah yang mayoritas umat Islam tidak menyadari itu. Padahal, setiap tahunnya kita selalu memperingatinya, bahkan sudah dijadikan sebagai hari libur nasional ketika hari itu tiba, yaitu peristiwa Isra Mi'raj. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah seorang mistikus, melainkan seorang humanis. Karena jika kita mengalami hal serupa dengan Nabi Muhammad, mungkin kita tidak akan lagi mau turun ke bumi karena sudah bertemu dengan dzat Allah dan mencecap manisnya surga.

Namun, sekali lagi penulis tegaskan, karena panggilan hati dan jiwa humanisnyalah, Nabi Muhammad turun kembali ke bumi untuk menyampaikan risalah ajaran transendental (ketuhanan/ilahiyah) kepada umat manusia.

Ibrah Shalat

Dalam proses pendidikan kepada umatnya, Nabi Muhammad mengajarkan menggunakan media shalat yang mengandung makna tentang persatuan dan kepemimpinan. Menurut dialog sejarah yang pernah penulis pelajari selama belajar tentang agama Islam, hal utama yang disampaikan dari peristiwa Isra Mi'raj adalah tentang shalat. Sebagaimana yang sering kita lakukan ketika shalat berjamaah mengandung makna persatuan dan kepemimpinan.

Maka saudaraku, sebaiknya shalat dilaksanakan secara berjamaah karena pada shalat berjamaah dipimpin oleh seorang imam. Maka dalam shalat berjamaah terdapat gambaran tentang praktik kepemimpinan dalam Islam. Ketika seorang Imam melakukan ruku, sujud, takbiratul ihram, dan lainnya,  makmum wajib mengikutinya. Dalam hukum shalat juga seorang makmum tidak boleh melakukan sesuatu hal yang tidak dilakukan oleh imam. Hal yang harus diperhatikan ketika kita akan menunjuk seseorang menjadi imam tentunya harus memilih orang yang baik akhlak dan bacaannya.

Ibrah dari syarat menunjuk imam adalah ketika kita hidup dalam bernegara, tentunya harus memilih seorang pemimpin yang cakap, pandai, mempunyai keredibilitas yang mumpuni, serta amanah. Sebab, seorang makmum akan mengikuti apa yang dilakukan oleh imamnya. Apabila pemimpin (imam) buruk, masyarakat atau makmumnya pun buruk. Begitu juga dalam shalat seorang makmum harus mengikuti pola yang dilakukan oleh makmun. Dalam hukum Islam, apabila seorang pemimpin melakukan kesalahan, makmumnya mempunyai hak bahkan kewajiban untuk membenarkannya.

Contoh lain, ketika seorang imam shalat melakukan kesalahan bacaan, seorang makmum memiliki kewajiban untuk mengingatkannya, yakni dengan mengucapkan "subhanallah". Maka, dalam Islam tentu seorang Islam ada hak untuk membenarkan secara baik dan beradab, sementara untuk pemimpinnya harus membuka ruang untuk menerima segala kritikan dan saran.

Satu hal lagi yang menjadi makna paling penting dari hikmah shalat berjamaah yang memuat nilai persatuan dan kesatuan adalah ketika di akhir shalat kita mengucapkan salam ke kanan dan kiri. Salam sendiri mempunyai arti mendamaikan dan menyelamatkan. Artinya, sebagai seorang Muslim ketika kapan pun dan di manapun haruslah memberikan energi positif berupa keselamatan dan kedamaian. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh umat Islam itu sendiri adalah mengabaikan makna dari mengucapkan salam.

Ketika kita mengucapkan salam, secara tidak langsung kita sudah mengikat sebuah janji yang sakral bahwa kita janji akan saling mendamaikan dan saling menyelamatkan. Dengan mengucapkan salam juga kita sudah berjanji untuk menegasikan segala bentuk kebencian dan konflik sesama umat manusia. Sehingga, di akhir salam ada kalimat "warahmatullahi wabarakatuh" (Mendapatkan rahmat Allah dan keberkahan). Maka, dengan saling berjanji untuk saling menyelamatkan dan memberi kedamaian akan muncul istilah Baldattun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Negara yang baik dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

Pemimpin yang Mencerdaskan

Persoalan tentang eksistensi dan esensi manakah yang didahulukan? Tentu ada berbagai opini, karena setiap nurani mempunyai cara tersendiri. Seperti gelas yang mendahulukan esensi, tapi seiring waktu berjalan eksistensi pun muncul dari hati gelas yang kemudian muncul istilah gelas cantik. Perihal dalam mendambakan seorang pemimpin tertinggi di negara, haruslah kita memilih seorang pemimpin yang cerdas dan mencerdaskan. Karena saat ini, negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mencerdaskan.

Dalam UUD 1945, presiden haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika pemimpin tersebut gagal, berarti ia telah melakukan kejahatan yang sangat besar, yaitu membuat anak bangsa gagal cerdas. Konstitusi memberikan tugas kepada pemimpin negara untuk mencerdaskan bangsa, jadi ini bukan tujuan negara, tapi tugas untuk pemimpinnya. Artinya, si pemimpin harus punya kemampuan untuk mengaktifkan akal pikirannya 24 jam sehari. Jika gagal, dia sudah melanggar konstitusi.

Bayangkan saja, jika sekadar menanyakan nama-nama ikan, itu justru akan mendungukan kehidupan bangsa. Pertanyaan itu seharusnya yang bisa merangsang pikiran, misalnya "kenapa ikan tidak bisa naik pohon?". Kejahatan tertinggi seorang pemimpin kalau mempertahankan kedunguannya, sehingga mengakibatkan bangsa ini kehilangan IQ setiap hari.

Sebuah bangsa agar mempunyai tradisi dialektika dan intelektual maka harus dimulai dari pemimpin tertinggi dan pusat kekuasaan, yaitu Istana. Seharusnya sosok yang diundang pun harus yang kompeten dan dapat mendorong budaya progresivitas, bukan rekan politik yang hanya membahas tentang kekuasaan dan eksistensi.

Kita mendambakan sosok orang yang menghasilkan retorika, logika, dan metafora. Dalam tradisi presiden-presiden Prancis, mereka setiap minggunya kerap kali mengundang seorang wartawan cerdas, dosen yang bagus, seniman bermutu, dan melakukan diskusi di senja hari. Filsuf pun diundang. Jadi, presiden setiap harinya menghasilkan kecerdasan karena memiliki tradisi berpikir. Dia juga tahu perkembangan mutakhir. Sedangkan tradisi presiden kita adalah mengundang pelawak dan partai pendukung, sehingga yang timbul hanya kekonyolan di Istana Negara.

Maka dari itu, pemimpin harus mempunyai kalimat tangguh. Misalnya dengan mengganti pertanyaan dengan, "mengapa ikan tidak bisa naik pohon?". Itu menimbulkan kuriositas kepada anak didik. Sehingga sepulang sekolah mereka akan mendiskusikan dengan temannya. Orang tuanya akan dilibatkan dengan pertanyaan tadi dan memaksa orang tua untuk mencari literatur agar anak didik itu paham, gurunya akan dia ganggu. Namun, hari ini peserta didik pulang dengan rasa bahagia karena mendapatkan sepeda, bukan karena kenikmatan berpikir.

Begitulah kiranya hikmah dari Isra' Mi'raj. Bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sebagai pemimpin sekaligus pendidik yang keunggulannya bisa kita terapkan hingga sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun