PROFESI MULIA YANG DIMARGINALKAN
Oleh: Safarudin Jemadil, S.Pd., Gr.
GP Angkatan V Manggarai Barat
           Euforia dalam menyambut kemerdekaan ke-78 tahun, Republik Indonesia memiliki keunikan tersendiri bagi seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan Pulau Miangas sampai Pualu Rote. Penyambutan kemeriahan tersebut dilaksanakan  dengan cara dan tradisi dari masing-masing daerah mulai dari kegiatan event olahraga, panjat pinang, tarik tambang, gerak jalan, pawai budaya dan lain-lain. Semuanya bermuara dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan. Banyak kejadian unik yang sulit dilupakan oleh kita semua, mulai dari pencopotan sepatu perserta pembawa baki bendera anggota paskibraka di istana, aksi panjat tiang bendera ketika tali putus saat pemasangan bendera, aksi TNI usir ASN yang takut kotor saat upacara, sampai pada aksi konyol Pak Basuki yang periksa ikat pinggang menteri BUMN, Erik Tohir dan ini menjadi sebuah legasi untuk dikenang.
       Ketika kita semua terlarut dalam semarak kemerdekaan tersebut, di bagian Timur  Indonesia justru terjadi peristiwa antagonis sebagaimana yang dialami oleh Ibu Maryam Latarissa seoran,  Guru  senior di SMAN 15 Maluku Tengah yang di-bully oleh siswanya sendiri. Ironisnya peristiwa itu direkam dan diviralkan di media sosial. Belum lagi  peristiwa sebelumnya masih membekas di hati para Guru Indonesia terhadap nasib yang dialami oleh Pak Zaharman, Guru SMAN 7 Rejang Lebong Provinsi  Bengkulu, yang salah satu matanya menjadi cacat permanen akibat diketapel oleh orang tua siswanya sendiri. Peristiwa ini hanya gara-gara membina siswanya yang merokok di lingkungan sekolah. Sudah jatuh tertimpa tangga pula nasibnya Pak Zaharman,  dilapor balik orang tua siswa karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.
       Fatwa kementrian Pendidikan tentang larangan aksi perundungan atau bullying terhadap siswa sudah diaminkan oleh guru dan sekolah untuk ditaati dan selalu diaktualisasikan di sekolah sehingga bisa menghasilkan siswa profil pelajar pancasila sebagai cita-cita bersama dalam dunia pendidikan. Malah  ini justru terbalik siswanyalah yang melakukan perundungan kepada gurunya, bukankah aksi perundungan atau bullying semacam ini adalah sebuah pelanggaran sila ke-2 Pancasila dimana hak dan martabat seseorang tidak dihargai, dan direndahkan?
          Apa yang dialami oleh kedua a guru diatas adalah sebuah gambaran dan reflektif kolegial kita begitu rendahnya derajat dan martabat Guru di Indonesia saat ini. Penghargaan berupa  Pahlawan tanpa tanda jasa yang disematkan oleh kita justru tergerus nilai dan maknanya  dengan kejadian masiv di dunia pendidikan seperti ini. Pertanyaanya: Apa yang salah dalam pendidikan di Indonesia? Apakah ada tumpang tindih regulasi sehingga terjadi ambigu dalam proses penyelesaian kasus seperti ini?
         Melihat fenomena dunia pendidikan kita saat ini, dengan banyaknya kasus yang terjadi perlu evaluasi kolektif untuk sama-sama menarik benang merahnya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian kita bersama untuk memwujudkan pendidikan di Indonesia jauh lebih baik antara lain : pertama perlu adanya parenting education, peran keluarga sangat penting dalam membentuk karakter anak. Kedua, selalu menjalin kolaborasi antara sekolah dan masyarakat. Ketiga, dunia pendidikan harus bebas dari intervensi politik dan perlu adanya hak imunitas bagi semua guru di Indonesia. Sehingga kejadian-kejadian yang mencoreng dunia pendidikan di Indonesia saat ini bisa diatasi dan bukan menjadi sebuah legasi buruk bagi generasi berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H