Mohon tunggu...
arif saifudin yudistira
arif saifudin yudistira Mohon Tunggu... -

Ini adalah publikasi pemikiran saya dan anggota kawah institute, meRupaKan PubLIkasi dan Pikiran dari Anggota kawah Institute IndoneSia---Belajar MenuanGkan hasrat dalam untaian ManfaAt dalam DinamikA RuanG Privat dan RuaNG Publik di Media Massa---salam PerubaHan---

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menempatkan Kartini

26 April 2013   16:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:33 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Oleh arif saifudin yudistira*)

"Ayah katakan kepadanya :

Bahwa tahu, mengerti, dan menginginkan itu dosa bagi anak perempuan"

-Kartini, 29-11-1901

Biografi Kartini meski sudah dituliskan oleh orang-orang masa lampau masih saja asing bagi kita selaku generasi yang terlampau jauh dengan masanya Kartini. Pengetahuan perempuan Indonesia masa kini pun sejauh mengerti atau pernah mendengar kumpulan surat-menyurat Kartini-Habis Gelap Terbitlah Terang-, itupun tak banyak perempuan masa kini menghabiskan buku itu. Bila Armijn Pane mengambil judul Habis Gelap Terbitlah Terang dikarenakan puisi yang pernah ditulisnya yang sangat indah ketika ia mengenali al-qurán dan mempelajarinya. Akan tetapi hal ini berbeda dengan pendapat Haryati Soebadio yang mengatakan terjemahan ini tidak mewakili semangat judul aslinya, karena member kesan perubahan instant dari kondisi gelap ke terang, padahal semangat yang sesungguhnya(Kartini) adalah setiap kemenangan dicapai dengan perjuangan (Haryati Soebadio,1979:15, Arbaningsih, Bri. 2005:9). Itulah sekilas gambaran mengenai pertentangan mengenai judul dan apa yang ditulis Kartini menjadi polemik setelah diterbitkan pertama kali di Belanda.

Ada yang menganggap ada kepentingan dari Abendanon sendiri, yang memiliki latar belakang feminis maupun dari kepentingan kolonial yang ingin mengangkat suara Kartini dengan menerbitkan Door Duisternis Tot Licht (DDTL). Dengan demikian, karya Kartini sendiri di dalam negeri memiliki sambutan yang ramai termasuk polemic di dalamnya yang masih mempersoalkan bagaimana karya Kartini ditempatkan. Maka bila kita tak membaca sendiri karya-karya Kartini, pengetahuan kita tentang Kartini bisa jadi tidak menyeluruh. Kartini bisa jadi dianggap sebagai sosok feminis Jawa, bisa jadi dipandang sebagai sosok yang melahirkan gagasan kebangsaan, tapi Kartini juga dianggap sebagai sosok yang dianggap politis mengingat pahlawan perempuan di negeri ini tak hanya Kartini semata.

Emansipasipator ???

Gagasan Kartini mengenai emansipasi lebih sering kita dengar. Kartini seolah menyuarakan perlu adanya kesetaraan dan kesamaan nasib antara kaum perempuan dengan kaum lelaki. Pemahaman Kartini yang demikian amatlah wajar, dikarenakan para perempuan saat ini merasa bahwa kebebasan yang diperoleh sekarang ini tidak mungkin ada tanpa perjuangan Kartini. Gagasan demikian bisa jadi salah besar, karena suara Kartini sangat lekat dengan gagasan pendidikan dan kebangsaannya ketimbang persoalan emansipasi. Saya lebih sepakat menyebut gagasan Kartini ini dengan semangat-dekonstruksi tradisi-. Apa yang disuarakan Kartini melalui surat-suratnya kepada sahabatnya yang ada di Belanda tak lain adalah upaya agar kepentingan kaum boemipoetra yang masih belum mendapatkan pendidikan agar diusahakan memperoleh pendidikan. Kartini mengusulkan pendidikan pada kaum elit dan kaum perempuan. Kita tentu tak melupakan bagaimana Kartini mengusahakan Agus Salim yang dari bea siswanya sebesar f 4.800.

Pemuda itu bernama Salim, seorang sumatera dari Riau,yang tahun ini lulus H.B.S,no I dari ketiga-tiga H.B.S. yang ada.Pemuda itu ingin sekali ke Holland buat meneruskan pelajaran jadi dokter, sayang keuangannya tidak mengizinkan. Permohonanku ini permohonan gila; dia sendiri malah tidak tahu bahwa kami ada. Kami hidup, kami berdoa dan kami mengharap pada Salim (Surat, juli 1903 kepada nyonya abendanon)

Itulah salah satu wujud dan gagasan Kartini yang teramat sangat peduli dan mempedulikan nasib pendidikan kaum boemipoetra. Tidak hanya itu, gagasan Kartini untuk mendekonstruksi tradisi bisa kita lihat pada bagaimana ia menggugat perkara-perkara yang dianggapnya tak adil pada perempuan. Tradisi itu misalnya penghormatan yang berlebihan atau feodalisme, selain itu dia juga menggugat tradisi pingitan perempuan. Dan bagaimana tradisi di waktu itu memperlakukan perempuan seolah dalam gedung dan tembok yang sangat kuat. Tembok itulah yang ingin ditembus Kartini dengan menulis. Simaklah renungan dan gejolak jiwanya dan protes terhadap tradisi itu.

"Seorang anak perempuan tidak boleh mempunyai hak, yang sekiranya sedikit saja merugikan kepentingan orang laki-laki. Hak anak perempuan ialah sesuatu yang dengan rela diizinkan oleh kakaknya yang tidak tamak"(Surat kepada Nyonya abendanon, 2-8-1900)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun