Mohon tunggu...
arif saifudin yudistira
arif saifudin yudistira Mohon Tunggu... -

Ini adalah publikasi pemikiran saya dan anggota kawah institute, meRupaKan PubLIkasi dan Pikiran dari Anggota kawah Institute IndoneSia---Belajar MenuanGkan hasrat dalam untaian ManfaAt dalam DinamikA RuanG Privat dan RuaNG Publik di Media Massa---salam PerubaHan---

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Huruf Kehidupan

9 Mei 2013   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:51 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh arif saifudin yudistira*)



Huruf, abjad adalah awalan untuk memahami dunia. Huruf bukan sekadar perkara mengurutkan, perkara menghafal, tapi lebih dari itu, huruf adalah upaya menegakkan dan meluruskan. Maka dari itu, orang ketika belajar menuliskan huruf mesti tegak pensilnya, dan lurus atau benar bentuknya. Pada saat itulah, pikiran kita berjalan melalui dua aksi ide dan tulisan. Imajinasi dan tulisan-konkret-, maka belajar tentang huruf sebenarnya merupakan belajar tentang penyatuan antara ide dan aksi. Berbeda dengan penilaian Barthes yang menganggap penulis adalah manusia-pribadi[1]. Saat penulis mencoba menuliskan hal-hal public, mengurusi dinamika dan perubahan dalam masyarakat, saat itulah sebenarnya ia menjadi bagian dari masyarakat dan perubahan itu sendiri. Perubahan-perubahan dalam masyarakat modern saat ini cenderung membawa manusia memiliki pertimbangan-pertimbangan kompleks. Kompleksitas pertimbangan itu bukan menjadikan manusia semakin mudah dalam menghadapi urusan-urusannya. Justru sebaliknya, kompleksitas dan pertimbangan-pertimbangan mengakibatkan manusia semakin hidup dalam arus ketidakjelasan. Ketidakjelasan itu bisa dalam wujud ketiadaan prioritas, perubahan perilaku, atau terjebak dalam rutinitas semu. Tak heran, bila manusia sekarang memerlukan kepastian-kepastian untuk menertibkan dirinya, lingkungan atau bahkan kehidupannya. Orang-orang masa lalu hidup dalam rutinitas berkualitas, kesadaran ada dalam kehidupan masa lalu, urip ki mung mampir ngombe, urip ki ngeli ning ora keli,kesadaran seperti itulah membawa mereka kedalam hidup dengan kebahagiaan dan ketenangan. Semeleh, orang hidup dengan prinsip semeleh di era modern, dianggap sebagai kegilaan tersendiri. Ketidakpercayaan dan ketakjuban orang modern memandang cara hidup masa lampau bisa difahami sebagai wujud kelalaian kita menengok riwayat dan khazanah masa lalu. Hidup orang-orang masa lalu bukanlah diam melainkan gerak. Ketekunan mereka pada waktu, waktu difahami bertumbuh. Sesudah subuh orang-orang udik atau desa sudah lekas menggarap tanah atau sawah mereka. Hidup dialami dan menyatu dengan alam. Alam diolah dan digerakkan dengan ketekunan dan kebersahajaan. Orang-orang lampau hidup dengan kepercayaan dan iman yang penuh.Sopo obah mamah, falsafah orang Jawa tersebut diartikan bahwa siapa bergerak bisa hidup. Dengan prinsip serba sederhana dan hidup sesederhana itu, maka orang lampau menghadapi persoalan-persoalan hidupnya, dengan penyelesaian sederhana. Di masa kini, penyelesaian sederhana itu dianggap sebagai meremehkan hidup dan dianggap aneh. Kembali pada persoalan ketertiban dan kedisiplinan orang-orang modern. Orang-orang mulai menata diri mereka seperti mereka hidup dalam ruang luar angkasa. Ia dipenuhi kebimbangan akan keberlangsungan hidup dan mati. Diikuti dengan keterbatasan waktu, makanan dan keterbatasan semuanya. Pada saat itulah kehidupan menjadi semakin mengerikan dan satu jalan. Maka profesionalitas cenderung dipandang sebagai suatu keterjaminan terhadap masa depan. Masa depan dipandang sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan. Model-model penaklukkan ini sebenarnya mirip dengan model anglo-saxon, atau model peradaban darat. Bukankah nenek moyang kita membantah pola demikian?, pola peradaban kita semestinya condong pada model maritime. Model peradaban yang penuh kesatria, penuh tantangan, dan ekspedisi, dan tidak menaklukkan, sebab air atau laut tak bisa ditaklukkan. Melainkan sebaliknya dimanfaatkan dengan sesuai kebutuhan dan merawatnya. Penuh kelokan, penuh kreatifitas dan penuh dengan ketakjuban dan keterkejutan yang tak dinyana. Profesionalitas menghabisi manusia dengan kepastian-kepastian, ukuran-ukuran ditentukan, harga ditempelkan, seolah semua kehidupan harus dimaterialkan. Di saat itulah kita sudah menentukan persamaan antara manusia dengan materi. Letak manusia sebenarnya melampaui kemateriilan. Akal dan hati sebenarnya menjadi alat untuk membuat manusia selalu dinamis, lentur, meminjam istilah Ki Ageng Suryo Mentaram mulur-mungkret atau fleksibel. Dengan akal dan hati itulah perasaan memainkan peran sebagai lokomotif tindak dan control terhadap manusia untuk tak terlalu hanyut dalam arus yang tidak jelas, tapi justru mengejar kepastian dan penaklukan. Di saat inilah, bahwa kehidupan duniawi itu tak lebih dari setetes air yang dicelupkan ke laut dan diangkat tetesan itulah kehidupan duniawi. Maka trend sekarang itulah wujud dari penghambaan dan pemujaan kepada kehidupan duniawi mulai tampak nyata. Masa depan bukan dipandang sebagai pergulatan dan dinamisasi masa lalu, tapi ia dipandang sebagai sub-sub dan yang terpisah. Spesifikasi, uniformisasi, teknokratisasi, dan bentuk-bentuk penyamarataan kualitas manusia. Industry justru semakin berfihak pada factor psikologi-industrial semata. Artinya manusia dipandang hanya sebagai tenaga potensial untuk mengeruk dan memperkaya laba perusahaan semata. Termasuk di dalam tes masuk perusahaan-perusahaan industry. Ketentuan pun diterapkan, aturan dibuat ketat, dan tak ada penentuan kualitas selain dari materialisasi dan angka-angka. Saat itulah perampokan besar-besaran pada yang asali-dan hakiki dari manusia dirampok habis-habisan. Maka manusia dan kemanusiaan diukur sebatas ketaatan kerja, diukur dari sebatas ketertiban dalam memasuki kerja dan pulang kerja. Kreatifitas tak mendapatkan tempat, alternative tak memiliki tempat memadai, dan segala terobosan justru dianggap penyimpangan.

Saat itulah orang semakin percaya pada institusi-institusi, lembaga-lembaga, dan puja materi. Ubermench atau manusia unggul dan khalifah atau pemimpin justru dilupakan. Persaingan dianggap sebagai momok dan hal menakutkan. Kekhawatiran dan stress dianggap sebagai hal yang harus dihindari dan cepat-cepat diselesaikan. Manusia jadi sosok yang lemah yang bergantung dan begitu tak berdaya dihadapan kerja. Kerja justru semakin menciptakan kesenjangan, ketidakterpenuhan kebutuhan, atau bahkan kekurangan dan kemiskinan kreatifitas. Alam tak dirawat, orang-orang berlomba membuat lembaga, institusi dan berburu sebagai tenaga kerja. Dan kekayaan dan uang dianggap sebagai hal yang pokok dan penting. Orang jadi menafikkan hal-hal yang berhubungan dengan kesederhanaan hidup. Hidup yang tak sederhana ini diperlukan sikap sederhana dan bersahaja. Rupanya kita memerlukan khotib-khotib yang mengajak kita kembali pada kesadaran hakiki kita sebagai manusia unggul-kholifah. Pemimpin tidak dinistakan dan dihinakan oleh uang, justru pemimpin mesti memimpin dengan cara membesarkan diri kita tidak dengan uang, melainkan mengolah dan mengelola uang. Bila pemujaan terhadap profesionalisme, pemujaan terhadap yang bendawi dan materiil, maka kehidupan yang penuh dengan ketertiban dan perencanaan menjadi semakin tertib dan tertata. Hidup kok tak ada seninya,Dan disinilah letak huruf mesti diangkat, Alif mesti dituliskan dan ditegakkan. Alif perlu digerakkan agar menjadi Alif bukan terlentang. Huruf-huruf inilah yang bisa kita sebut huruf-huruf kehidupan. Huruf-huruf kehidupan bukan semata-mata hanya alif, kadang kita memerlukan ba’ yang dilengkapi dengan titik, dan lain sebagainya. Dari huruf-huruf itulah kehidupan tidak sekadar dipandang pada satu titik, melainkan banyak jalan dan solusi dari kehidupan ini. Dan di saat itulah kita akan berani mengatakan bahwa orang-orang modern percaya pada uang, kami percaya pada huruf. Sebab huruf-huruf kehidupan mesti kita cari dan kita susun bunyi kehidupan itu sendiri, agar kehidupan berjalan sesuai dengan huruf-huruf yang akan kita susun. Maka dari itu, huruf-huruf kehidupan ini mustahil bisa kita baca tanpa membaca awalan kehidupan itu yang tak lain adalah jaman sebelum-sebelumnya alias huruf Alif, yang bisa kita baca dengan mempelajari khazanah, pelajaran, kebijaksanaan dan kearifan masa lalu. Di saat itulah sejarah menjadi kompas dan sesuatu yang penting.

*) Penulis adalah Pegiat di bilik Literasi, Santri Pengajian Malam Senin SOLO

[1] Lihat Hidup dan Matinya Pengarang Penyunting Toety Herawati(2000)hal.198

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun