Saya percaya tradisi tidak muncul begitu saja. Ia juga lebih dari sekedar kebiasaan atau tontonan sebagai hiburan. Tradisi adalah refleksi atau perwujudan dari pemahaman satu masyarakat tentang harapan dan jati diri mereka secara kolektif, bukan perorangan. Harapan ini bisa kita tafsirkan dari simbol-simbol yang kita temui pada tiap-tiap ritual tradisional.
Seperti halnya kudapan jenang, wajik atau bubur (tajhin) yang hampir tak luput disajikan pada ritual-ritual tradisional, khususnya di Madura dan Jawa. Baik tajhin maupun wajik, keduanya tergolong sebagai makanan yang lengket dan bertekstur liat. Keduanya bisa kita maknai sebagai simbol sesuatu yang erat, yang karib dan rukun. Tajhin dan wajik sengaja disajikan sebagai wujud harapan untuk semakin mempererat tali silaturahmi.
Begitu pula penyalaan obor pada tradisi Luk-Culuk untuk menyambut Maulid Nabi dan Nuzulul Qur’an. Obor bisa dimaknai sebagai pemberi cahaya, penerang jalan, pemberi petunjuk. Kiranya obor adalah manifestasi dari pemahaman umat muslim tentang Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, yakni senantiasa dianut sebagai pemberi petunjuk.
Ibadah puasa Ramadan tahun ini sudah tuntas kita jalankan. Selama sebulan penuh itu pula, tak hanya menahan lapar dan haus, kita juga menjalankannya dengan tradisi-tradisi unik di bulan Ramadan, baik untuk masyarakat Sampang, maupun Madura pada umumnya. Kiranya dari sekian tradisi itu kita bisa menangkap satu semangat yang terus diulang. Yakni semangat untuk saling berbagi, semangat kebersamaan, menjunjung tinggi kepentingan kolektif, yang dalam bahasa Madura kita sebut sebagai ‘song-osong lombhung’.
Menjalani ibadah puasa, lagi-lagi kita bertemu dengan kudapan khas Madura yang bisa kita anggap sebagai simbol kekariban, yakni tajhin. Penganan sejenis bubur dengan rasa dominan asin ini mudah sekali kita temui sambil nyare malem di seputaran Monumen Sampang. Menuju ke penghujung Ramadan, tepatnya di sepuluh hari terakhir, tampaknya kebutuhan untuk lebur ke dalam kelompok ini masih kita rasakan. Dan ini kita ekspresikan dengan turut menyajikan tajhin pada hidangan yang kita antar pada tetangga pada tradisi ther-ather. Apa yang kita antar sejatinya bukan tajhin-nya, melainkan undangan untuk terus memelihara kerukunan.
Menyongsong Syawal, sekaligus untuk melepas bulan Ramadan, semangat kolektif ini kembali diekspresikan. Ia mewujud pada seni kontemporer pawai daul. Daul yang merupakan transformasi dari musik tradisional tong-tong atau patrol sahur ini pun menuntut kerjasama kolektif. Pertunjukkan daul yang sejati bukan penampilan masing-masing kontingen ketika diarak di jalan raya. Namun justru pada kekompakan dan kerjasama mereka jauh sebelum pawai dimulai.
Puncak dari simbolisasi semangat kolektif pada tradisi yang berkaitan dengan bulan suci Ramadan ini kiranya bisa kita lihat pada perayaan lebaran ketupat. Masyarakat Madura menyebut tradisi ini dengan tellasan topa’.
Pada saat ini pula orang-orang Madura yang merantau mulai berbondong-bondong pulang ke kampung halaman, toron ke pulau Madura. Jika pada umumnya orang-orang mudik supaya bisa sembahyang shalat Id berjamaah bersama keluarga, orang Madura toron untuk menikmati momen berbagi ketupat ini.
Tentu yang utama diburu bukan ketupatnya, tapi bagaimana orang-orang Madura bisa merayakan kebersamaan. Dan perayaan kebersamaan ini mula-mula dicapai terlebih dahulu dengan ‘toron’, dengan mengendapkan ego diri di hadapan orang lain. Sebab dengan hati yang tinggi, diri akan gagal untuk menjadi lebur ke dalam kelompok, sebagaimana lumbung padi yang gagal diusung jika satu-dua pasang tangan mengangkat terlalu tinggi.