[caption caption="Google's Image: Manusia Sempurna"][/caption]
Jajak Fenomena Manusia Ke-kini-an.
Manusia malang-melintang dalam kehidupannya,[1] awalnya terarah dan diarahkan, pada akhirnya mencoba mengarahkan diri-sendiri dengan berbagai keputusan dan kesimpulannya masing-masing, tanpa hadirnya sosok mursyid atau pedoman yang mengarahkan dirinya. Dapatkah manusia menggapai sesuatu yang dikehendakinya tanpa pembimbing atau pedoman? Bagaimana mestinya manusia meronakan dirinya sebagaimana Tuhan menitipkan gelar Khalifah fi al-ardh -(manusia) sebagai wakil di muka bumi- padanya?.
Melihat dari keadaan yang ke-kini-an, tampaknya wajah-wajah manusia tidak saling mengenal dan tidak pula akrab satu-sama lain, aku-aku-kamu-kamu, seakan dalih ini haruslah dianggap suatu paradigma paten dimana posisi manusia harus memenuhi egonya masing-masing, tanpa campur tangan orang lain, padahal kebutuhan satu-sama lain mengindikasikan kepada makhluk yang universal untuk seutuh alam (rahmatan li al-‘alamiin).
Juga melihat propaganda dari balik layar dan banyaknya wacana berita-cerita yang kita terima –secara searah- di setiap harinya adalah benturan perspektif-perspektif yang terlalu subjektif dan eksklusif; di satu pihak merasa benar karena suatu alasan, di lain pihak pun dengan alsannya merasa demikian benar. Akhirnya timbulah prasangka-prasangka negatif dan ironisnya membuat stimulan perpecahan yang tidak perlu. Lebih mencengangkan lagi adalah adanya manipulasi visual yang mengakibatkan konsumen mesti meng-iya-kan bahwa berita-cerita yang mereka beberkan bukanlah rekaan.
Kini, teknologi-informasi seakan menjadi tiang agung bagi pasar dunia era-modern, begitu juga dengan birokrasi politik seakan dianggap remeh dan pada dasarnya hanya terbuai pada hal lain yang bersifat finansial saja, melalaikan tugas sebagai ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ –alih-alih bisa berarti khalifah bagi rakyatnya- dan menjadi penyebab polemik dalam media masa. Manusia dalam keadaan inilah yang menjadi perhatian khusus dari banyak pihak masyarakat.
Gambaran manusia ke-kini-an memungkinkan menjadi suatu perhatian (concern) tersendiri dari masyarakat, karena harkat-martabat mereka pun hakikatnya ada pada setiap individu-individu yang berada disekitarnya, bangsa dan Negaranya, terlebih lagi budayanya, yang biasanya, harus manut pada ajaran nenek-moyang mereka secara berregenerasi. Suatu seseorang yang sempurna tidak akan muncul selama tidak dimunculkan, kebaikan tidak menjadi baik atau lebih baik selama kebaikan tidak dihimpun dan direalisasikan sebagai konsepsi praktis-rasional.
Transfigurasi manusia dalam pemikiran dan nilai hidupnya itu sangatlah bergantung dimana ia berada dalam hal ini ruang lingkup lingkungannya adalah serupa zona doktrinisasi radikal yang bertahap bagi setiap pemikiran serta paradgima manusia pada umumnya. Walaupun memastikan akan adanya suatu pencerapan berupa inheren maupun ekstern namun jika suatu tingkah perubahan melakukan suatu gerakan pemikiran dinamis maka manusia mampu mengendalikan dan melakukan sebuah eksplorasi pengetahuan tentang lingkungannya. Serta akan memahami latar belakans sebuah kehidupan terbentuk.
Adakalanya manusia mengikuti hati nuraninya, adakalanya manusia alpa dimana ia berada dan adakalanya manusia hilang kemanusiaannya hanya untuk memenuhi keperluannya (egois). Dari sini, manusia ke-kini-an terkadang terlihat ambigu dan terkadang tidak bisa menempatkan sesuatu secara tepat; tidak dapat melihat dengan jelas ke-wujud-an dirinya sebagai manusia, hilang arah, manakah yang ditujunya? Dan manakah yang bukan tujuannya? Sehingga tersesat dan menyesatkan ke-fitri-annya sebagai subjek kreatif.
Sebuah penyerapan (abstraksi), teori, dan tindakan tidak pernah lekang dari alasan sadar; bergerak timbul-tenggelam juga sebuah proses kebergantungan. Manusia tidak hanya memiliki jiwa tapi juga jismiyah (badani), jika dilihat manusia memiliki dua dimensi; berunsur materi rendahan, yaitu tanah dan ruh Tuhan sebagai substansi kehidupan.
Manusia memerlukan sesosok dan panutan untuk ditiru maka dari itu perlu manusia biasa namun juga luarbiasa untuk mengubah sebuah perubahan yang positif dalam bersikap, bertindak, berpikir dan mengambil keputusan yang bijak sebaik seorang Muhammad Saw mencontoh. Citra Muhammad Saw di(d)alam Al-Qur’an yang bahkan dalam sebuah riwayat mengatakan: Ketika Saidatina ‘Aisyah Ra ditanya oleh Hasyim bin Amir tentang akhlak dan sifat Rasulullah Saw, maka beliau menjawab: “akhlak Rasulullah Saw itu adalah Al-Qur’an” (HR. Muslim).