Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sabar Sampai Sadar, dan Menjadi Tidak Perlu Sabar Lagi.....

2 Maret 2010   23:50 Diperbarui: 15 Maret 2019   08:59 4322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bisa bertahan dalam kesabaran sambil merenungi makna dari peristiwa yang dialami , maka akan mendatangkan kesadaran !   Sabar?

Betapa sulitnya untuk sabar didalam hidup yang penuh tekanan ini . Betapa sulitnya menjadi orang sabar saat emosi lebih menguasai. 
Betapa terpaksanya kita harus menahan sabar dengan dada yang bergetar. Dirumah anak rewel dan istri bawel, ditantang kesabarannya. Sampai terkadang harus mengelus dada untuk menenangkan diri. Begitu keluar rumah, jalanan sudah macet, bertemu pengendara yang semaunya menyalip. Mau tidak mau harus sabar menahan diri sambil geleng-geleng kepala. 
Menghadapi anak buah yang bandel, terpaksa harus sabar juga menahan nafas . Kalau tidak mau tensi darah meninggi dan stroke menimpa. Saat mengantri di ATM yang panjang dibawa terik matahari pula, kembali harus sabar, karena memang harus begitu, demi menarik beberapa lembar uang untuk bayar utang. 
Pagi-pagi dimarahi boss yang maunya marah-marah, kembali harus sabar kalau tidak mau kehilangan pekerjaan. Ditahan-tahan juga walau kesal dan mendongkol. 
Dalam kondisi politik yang tidak menentu , dimana banyak rakyat yang demo aksi dan pejabat demo bicara, sehingga menghambat pembangunan, tak ada jalan selain sabar dengan harap-harap cemas. Menulis di Kompasiana juga harus sabar, karena walau sudah menulis dengan benar tapi karena beda pemahaman, pasti ada yang tidak senang dan disalah pahami. Harus sabar dikritik, diledek, dan bahkan dihujat. Kalau tidak sabar, bisa-bisa makan hati dan jadi emosi sendiri. 
Akhirnya kehilangan motivasi untuk menulis lagi. Kalau direnungkan , kesabaran yang kita miliki selama ini , apakah sebuah kesabaran yang terpaksa atau memang kesabaran yang ikhlas? 
Saya pribadi merasa ternyata kesabaran yang ada selama ini sebenarnya adalah hanya sebuah kesabaran yang terpaksa dan belum sepenuhnya ikhlas. 
Ada baiknya memang, karena walau terpaksa tetap membutuhkan sebuah perjuangan yang berat. Jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak sabar disekitar kita. 
Karena ketidaksabaran, hidup jadi berantakan. Tak jarang berujung masuk penjara atau mendapat kematian. Bagaimanapun bila bisa sabar tetap ada baiknya. Namun walau sudah bisa sabar, tetap tidak baik juga , apabila sesuatu hal itu dipaksakan. 
Sewaktu - waktu masih bisa lepas kesabaran. Alangkah indahnya ketika kita bisa bersabar sampai timbul kesadaran. Menerima semua keadaan dengan hati ikhlas tanpa perlawanan sedikit pun diiringi dengan hati yang mengasihi. 
Seumpama saat dimarahi tanpa sebab dan dihujat, terimalah bahwa itu sebagai kesempatan untuk belajar memaafkan dan memaklumi orang lain. Saat mengantri dalam kesabaran itu kita belajar untuk menghargai dan bertenggang rasa kepada orang-orang yang ikut antri . 
Bisa sabar dalam setiap peristiwa yang dialami, dan mau mengambil pembelajaran dari peristiwa tersebut , niscaya dapat menimbulkan kesadaran didalam diri kita. Ketika sampai ke tahap demikian, maka kita tak perlu bersabar lagi , karena kita tidak perlu lagi menuntut diri sendiri untuk bersabar. 
Semua peristiwa akan dijalani dengan apa adanya sebagaimana mesti. Semoga dengan banyak peristiwa yang menuntut kita untuk bersabar, bisa menjadikan kita sadar!
illustrasi :http://cha004.wordpress.com/2009...2/sabar/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun