Bukanlah omong kosong bila selama ini ada kabar, bahwa setiap pengusaha yang memiliki usaha. Selain harus mengeluarkan biaya-biaya yang tertulis. Ada peraturan yang tidak tertulis yang harus dipenuhi. Terkadang biayanya justri lebih besar dari biaya resmi.
Umumnya adalah demikian. Bagi pengusaha yang berpengalaman sudah pasti memahami peraturan ini. Karena demilkian aturannya.
Kalau dikatakan pemerasan rasanya terlalu kasar. Istilahnya uang pengertian atau uang tahu sama tahu, mungkin lebih bagus.
Ketika seorang pengusaha hendak berinvestasi mendirikan pabrik misalnya. Biaya perizinan dan surat-surat bisa membengkak dari seharusnya. Bila keukeuh mengikuti, maka prosesnya akan menjadi lama dengan berbagai alasan yang dibuat.
Ketika usaha atau pabrik berjalan, biasanya akan ada setoran wajib setiap bulannya untuk pejabat ini-itu. Sebagai pengusaha yang ingin usahanya lancar, hal ini harus dipenuhi. Apalagi itu adalah seorang pengusaha keturunan Tionghoa.
Selain itu, ada juga pengusaha yang sengaja memelihara orang "gedean". Pejabat yang berpengaruh atau seorang jenderal untuk mengamankan usahanya dari gangguan pejabat yang lebih rendah atau preman. Untuk itu tentu saja harus mengeluarkan jatah bulanan yang tidak kecil.
Bagi pengusaha yang penting usaha lancar dan ada keuntungan. Namanya juga bisnis. Mau tidak mau semua pengeluaran itu akan dimasukkan sebagai biaya produksi.
Pengusaha yang sudah mengikuti prosedur pun tetap masih harus ada kewajiban untuk setor pada penguasa. Apalagi yang namanya pengusaha nakal. Biasanya mereka justru sengaja dipelihara.
Kenapa? Karena dari mereka inilah penguasa mendapatkan pemasukan tak resmi.
Menyimak dan mengamati kasus yang menimpa pengusaha kondang, Siti Hartati Murdaya yang menjadi tersangka penyuapan. Boleh dibilang sedang apes. Karena tentu masih ada pengusaha seperti Hartati.
Masalahnya, apakah Hartati memang melakukan penyuapan atau hanya korban karena ada kewajiban untuk menyetor kepada penguasa?