Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pencatut

19 November 2015   11:26 Diperbarui: 20 November 2015   07:14 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa kita heran atau heboh dengan urusan catut-mencatut nama seseorang? Yang namanya mencatut sejak dahulu kalah sudah ada. Mencatut nana raja atau pejabat sudah biasa. Di kalangan rakyat biasa yang jadi mencatut tak sedikit jumlahnya. 

Tak Percaya Diri, Menakuti, Cari Keuntungan, Menutupi Kesalahan 

Para pencatut hadir dengan berbagai alasan atau desakan. Bisa jadi tak percaya diri akan kemampuannya, sehingga harus mengatasnamakan seseorang yang dianggap punya kekuatan atau kekuasaan. 

Selain itu juga bisa untuk menakut-nakuti. Bawa-bawa nama Tuhan atau penjabat ini-itu. Mengaku saudaranya jenderal atau temannya pejabat teras sudah terlalu lazim dilakukan. 

Pernah pergi dengan seorang saudara. Karena salah jalur kena tilang polisi. Langsung saudara saya bilang kalau ia temannya jenderal dan sedang hendak ke rumahnya untuk rapat. Mungkin sudah terlalu sering dikibuli oleh para pembuat, sehingga dengan tegas ia bilang tak peduli dengan jenderal. Kalau salah ya harus ditilang. Tetapi ujung-ujungnya damai dengan uang sepuluh ribu saja. Itu sekitar tahun sembilan puluhan. 

Mungkin nama yang paling sering digunakan para pencatut adalah yang bernama rakyat. Sudah terlalu banyak kali dipakai, sehingga susah untuk menjumlahkan. 

Para pencatut tahu bahwa nama rakyat sangat menjual dan menguntungkan demi untuk mendapat simpati dan dukungan untuk dirinya. Herannya selalu saja ada yang mau ditipu dengan imbalan selembar dua lembar rupiah. 

Tak jarang pun nama rakyat dibawa-bawa seakan-akan apa yang dilakukan semuanya demi rakyat. Dengan tampilan alim dan melankolis untuk meyakinkan. Padahal kebenarannya semua itu sekadar demi untuk menutupi kesalahan. Lucunya gaya akting yang sudah basi ini berhasil mengharubiru hati penonton. Ibarat terasi walau bau-bau tetap disuka. Walau sudah banyak yang muak pula. 

Ujung-ujungnya Mendapat Malu Pula 

Seperti sudah kita tahu para pencatut hadir dari golongan mana saja. Mau pejabat atau orang melarat. Setinggi negara atau pun pegawai rendahan. 

Belum lama ini pegawai kebersihan di tempat kerja saya berani-beraninya mencatut nama manager. Untuk menyelesaikan pekerjaannya ia mengajak pegawai dari bagian lain. Katanya itu perintah dari Pak Manager. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun