Kemacetan adalah guru yang baik bagi seorang manusia pembelajar. Tapi kemacetan juga dapat menjadi guru yang buruk bagi manusia yang ingin hidup seenaknya atau egois.
#
Bagi warga yang hidup di Jakarta dan sekitarnya. Kemacetan adalah keseharian dan teman setia. Keadaan yang harus diterima dengan terpaksa atau lapang dada.
Bagaimana kita menyikapinya? Bisa saja ada yang harus mengeluh dan marah-marah setiap hari begitu keluar rumah. Ada juga yang menjalani apa adanya. Mungkin ada yang cuek saja.
Dengan pesatnya perkembangan. Manusia dan kendaraan semakin banyak, sedangkan pembangunan ruas jalan dan sarana transportasi seakan jalan di tempat. Situasi jalanan yang macet pasti akan menjadi teman setia ke depannya.
Bila kita mengamati perilaku pengguna jalan. Dari waktu ke waktu semakin tidak teratur saja. Semakin semaunya tanpa memperhatikan keselamatan diri dan orang lain.
Rambu-rambu lalulintas hanya menjadi pajangan. Lampu merahpun sulit menghentikan laju kendaraan yang seenaknya melintas.
Melihat keadaan ini saya berpikir. Keadaan ini sangat berpengaruh pada karakter seseorang. Yang sudah tidak teratur dan tidak sabar, maka kemacetan akan membuat mereka semakin liar.
Bagi yang sabar, disiplin, dan tidak suka mengikuti perilaku buruk orang lain. Kemacetan bisa jadi akan semakin membuat mereka semakin sabar dan disiplin.
Perilaku ketidakdisiplinan dan keliaran di jalanan sebenarnya awalnya dilakukan segelintir orang. Melintas saat lampu merah. Naik ke atas trotoar dan menyalip sembarangan.
Lalu secara perlahan diikuti orang-orang yang masih ragu. Selanjutnya menjadi kebiasaan. Begitu seterusnya. Kemudian menjadi perilaku massal.
Bagi kita yang cerdas dan ditambah sedikit bijak. Saya pikir kemacetan bisa menjadi sarana pembelajaran yang baik untuk membentuk karakter kita. Untuk menjadi pribadi yang berkembang.