Selalu merasa paling benar dan tahunya menyalahkan, menandakan kebatinan kita masih dikuasai ego. Nurani belum menjadi tuan rumah. Hanya bisa omong kosong.
Ini sekadar cerita basi. Tapi bila mau sejenak dipikir tetap masih memberikan arti. Apalagi diresapi dengan sedkit kelembutan hati.
Empat biksu muda sepakat untuk bermeditasi selama seminggu tanpa bicara. Mereka menyalakan lilin yang ditaruh di tengah.
Seharian keempat biksu bertahan dalam diam sesuai kesepakatan. Namun menjelang malam lilin hampir padam.
Salah satu biksu tanpa sadar berkata pelan,"Aduh, udah mau gelap lilinnya hampir padam, gawat!"
Temannya yang di sebelah mengingatkan,"Ssssstt...kita kan sudah janji gak boleh bersuara!"
"Eh, kenapa kalian berdua berbicara sih?" desis biksu ketiga.
"Ha ha ha..kalian bertiga gagal untuk tidak bicara. Cuma saya sendiri yang bisa diam. Yeaaaach!" teriak biksu yang keempat yang membuat teman-temannya saling berpandangan menggaruk kepalanya yang plontos.
Sungguh omong kosong bukan? Kenyataannya justru biksu keempat ini suaranya yang paling keras.
"Kalian salah. Saya yang benar." Begitu prinsipnya. Padahal diri sendiri justru yang paling bersalah.
"Kamu salah, saya yang benar." Kenyataannya justru saya yang menjadi biang kesalahan.
Ketika kita emosi, kita menyalahkan orang lain yang menjadi penyebabnya. Padahal itu terjadi karena kita tidak mampu menahan emosi.