[caption id="attachment_176460" align="aligncenter" width="267" caption="freedigitalfhotos.net "][/caption] Menulis di media sosial sekelas Kompasiana yang hiruk-pikuk dan penuh keramaian. Sungguh menarik hati dan mendatangkan kegairahan untuk terpacu menulis. Walau tak ada bayaran. Karena ada hal lain yang bisa dicapai. Prestasi dan eksistensi misalnya. Keterbacaan yang tinggi dan berdatanganp komentar adalah sisi lain yang membuat adrenalin kita untuk terus menulis dan menulis. Menulis menjadi selalu menantang setiap hari. Selain itu, menulis di Kompasiana tidak jarang membuat seorang penulis meraih keppopuleran. Bahkan tidak sedikit pula yang memanfaatkan Kompasiana untuk menjadi populer. Kepopuleran itu adalah candu yang melenakan, sehingga membuat kita lupa diri akan kesejatian. Tetapi berapa banyak manusia yang tidak ingin menjadi populer dalam hidupnya? Kita mahfum, demi untuk meraih popularitas, banyak orang rela melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Mengabaikan bisikan suara hatinya. Menggadaikan idealismenya. Kita bisa lihat sendiri realita yang terjadi. Demi untuk meraih keterbacaan yang tinggi. Kita menulis hal-hal yang memancing atau judul-judul yang bombastis. Karena kita tahu itulah pasarannya. Soal isi atau pesan moral urusan kesekian. Tidak sedikit pula yang rela melakukan kecurangan agar tulisannya menjadi yang TER...TER...TER...Tidak peduli kata dunia. Inilah salah satu sisi negatifnya, selain sisi positif yang membuat kita terus terpacu untuk menulis dalam keramaian. Menulis dalam keramaian, mau tidak mau melahirkan banyak kepentingan yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita. Tetapi datang seiring ketergodaan. Demi kepentingan agar tulisan banyak yang baca dan menjadi populer. Apa yang kita tulis hanyalah nafsu dan keegoan. Bukan sungguh-sungguh suara dari kedalaman hati. Jujur saja, kondisi di Kompasiana, dimana tulisan yang berbau seks dan politik sangat mengundang selera. Merangsang minat. Tak heran keterbacaannya sangat tinggi. Hal ini dapat memicu orang berlomba-lomba asal menulis topik tersebut tanpa mengabaikan etika lagi. Sebagai manusia yang seringkali mudah terbawa arus. Menulis dalam keramaian bisa membuat kita terjerumus. Tentu tidak semua. Masih banyak penulis yang memiliki prinsip dan menulis dalam kesunyiannya. Tapi jujur harus saya akui, saya adalah masuk dalam daftar hitam. Bagian dari yang terjerumus. Beruntung baru satu kaki, sehingga masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Memikirkan ulang dari tujuan menulis yang sesungguhnya. Menulis dalam keramaian telah menggerus kesejatian. Kadangkala tanpa kita sadari proses ini berjalan pelan tapi pasti. Ketika tersadarkan kita hanya bergumam,"Tak apalah. Kepalang basah." Tetapi beruntung, bila kita masih sempat berpikir,"Lebih baik kehilangan kepopuleran daripada kehilangan kesejatian!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H