Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menilai

21 Januari 2014   07:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah waktu hidup kita lebih banyak kita gunakan untuk menilai diri sendiri atau orang lain? Jawaban pastinya hanyalah diri kita pendiri. Tapi untuk diri saya sendiri, saya berani memastikan, bahwa orang lain yang lebih banyak saya nilai. Bahkan terhadap satu hal yang belum tentu kebenarannya sok untuk saya beri nilai tentu dengan sok keegoan yang mungkin kelak justru akan mempermalukan saya.

Bukan hanya orang, bahkan kelakuan seekor kucing yang mengawini anaknya  atau tikus yang eek sembarangan pun tidak terlepas saya nilai.  Ini kucing menyebalkan.  Itu tikus kurang ajar. Apa yang tidak saya nilai? Keterlaluan sebenarnya. Otak dan perasaan lebih menguasai hidup saya saat ini dan itu sebenarnya tanpa disadari menjadi beban dan merugikan keadaan spiritual diri sendiri..

Ego yang Lebih Bekerja

Segala penilaian yang hadir terhadap sesuatu  di luar diri kita, karena ego kita yang lebih bekerja. Hidup kita menjadi lebih sibuk menilai orang lain demi sebuah aktualisasi diri yang dikuasai ego. Sampai mungkin kita lupa untuk menilai diri sendiri.

Ego kita merasa berhak menilai apapun dan siapun juga. Tentu dengan melebihkan kehebatan diri sendiri. Ada orang yang sudah mau bekerja demi masyarakat dengan mencurahkan sepenuh pikirannya. Kita yang  cuma duduk diam saja masih berani menilai 'kerjanya tidak becus!'.

Ada orang yang sudah tulus berbuat baik dengan membantu sesamanya, kita beri nilai 'sok pamer dan pencitraan'. Lalu dengan bangga kita menilai diri sendiri 'mendingan saya yang diam-diam memberi tak pakai pakai'.

Ego juga membuat kita seakan lebih baik dan hebat dari siapapun. Biasanya kita menilai dengan 'Mendingan saya dong daripada dia'.

Ego menjadikan kita sibuk menilai si ini begini, si itu begitu. Ketika penilaian kita salah pun ego kita kembali berkuasa dengan masih tetap menyalahkan yang yang kita nilai. Sebab ego tak pernah mau disalahkan dan anti kritikan.

Selama ego kita yang terus dibiarkan berkuasa, maka lembaran kesalahan demi kesalahan tak akan menyadarkan kita. Sebaliknya membuat kita bangga dengan semua itu.

Kapankah Potensi Sejati Diri yang Bekerja?

Ketika kita sudah merasa baik  dengan banyak melakukan hal-hal yang baik. Mungkin kita lupa, jurus menilai kita tetap bekerja. Penilaian kita terhadap orang lain yang mengarah ke menghakimi masih ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun