Sudahkah aku mengenali diriku?
Apakah aku ini adalah yang bernama ini?
Kasihan sekali bila bahkan aku tak mengenali diriku sendiri yang sesungguhnya!
*
Siapakah aku? Dari manakah aku ini? Apakah maksud aku dilahirkan?
Aku masih samar-samar mengetahui dari pengajaran yang telah kudapatkan. Namun salah hal adalah hati dan pikiranku semakin terbuka untuk menyelami kebenaran bersama Sang Guru. Sosok yang kupercaya telah memperoleh pencerahan.
Dari laku dan tutur kata serta pancaran kasih di wajahnya. Tak tertangkap adanya keakuan lagi. Begitu bebas dan lepas seakan tiada yang membelenggu.
Setiap waktu selalu tersedia untuk melayani. Baik yang membutuhkan pelayanan rohani maupun jasmani. Tidak pernah tak lelah dan mengeluh. Senyuman adalah bagian pakaiannya setiap hari.
Kemana melangkah dan duduk tampak ketenangan.
Hari berlalu semakin menuntun diriku untuk mendapatkan pengajaran yang lebih dari Sang Guru.
Saat kuberjalan menyusuri taman, kutemukan sebait kata yang terukir di dinding batu "Kenalilah dirimu, sebelum mati. Karena itu sangat berarti bagi hidupmu nanti!"
Aku berusaha memahami dan merenungi, namun seperti sudah menjadi jodoh, Sang Guru muncul dan aku menggunakan kesempatan itu untuk mendapatkan penjelasan.
"Guru, kata-kata yang terukir itu sungguh indah dan bermakna, mohon guru sudih menjelaskan padaku yang masih diliputi kebodohan ini!"
"Sahabatku, masih beruntung engkau merasa memiliki kebodohan. Sebab orang yang telah merasa pintar tidak memiliki kerendahan hati lagi untuk belajar.
Seperti halnya orang yang bijak, selalu merasa dirinya bodoh. Tetapi hal itu tidak membuatnya bodoh sama sekali.
Berbeda dengan orang yang merasa pintar, yang sebenarnya masih dibelenggu oleh kebodohan."
"Sekali lagi, mohon petunjuknya untuk aku yang memang masih bodoh ini, guru!" Aku memberikan salam hormat.
"Sahabatku, pada masa sekarang ini manusia lebih sibuk untuk berusaha mengenal orang lain daripada berusaha untuk mengenal dirinya. Mengapa? Karena telah merasa mengenal dirinya dan tak ada yang perlu dikenali lagi.
Begitulah aku si anu. Anak si anu, punya anak si anu. Istri atau suami si anu. Punya perusahaan anu. Apalagi yang perlu aku kenali? Aku orangnya begini dan begitu, memang adanya demikian!
Begitulah manusia umumnya memahami dirinya yang sesungguhnya adalah dirinya yang palsu. Belum sampai pada taraf mengenali siapa dirinya yang sejati.
Aku yang palsu dengan diri yang sejati tentu adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Diri yang palsu akan hancur dan yang sejati akan abadi. "
Aku tertegun dan berusaha menyelami aliran kebenaran Sang Guru.
"Mengapa manusia lebih berusaha mengenali dirinya yang semu daripada yang sejati, guru?"
"Sebab manusia masih diliputi kesesatan. Tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Tidak menyadari bahwa dirinya yang sejati adalah manifestasi dari Roh Suci Ilahi.
Tidak menyadari bahwa roh yang bersemayam didalam dirinya adalah roh keabadian yang berasal dari surgawi. Suatu saat harus kembali lagi dari asalnya."
Sang Guru mempersilakan aku untuk duduk dibangku taman yang dipenuhi pohon-pohon rindang.
"Manusia yang telah bisa mengenal dirinya, maka ia akan berlaku layaknya makhluk yang sifat-sifat kesejatian. Berbudi luhur dan hidup dalam kesucian sesuai nurani.
Tentu akan malu untuk berperilaku menyerupai sifat-sifat binatang yang liar dan buas. Penuh nafsu dan emosi. Sebab memang itu bukan sifat-sifat dirinya yang asli.
Sesungguhnya perjalanan hidup manusia yang paling utama hidup di dunia adalah agar bisa mengenal dirinya yang sejati. Sebab itu adalah jalan menuju kepada keabadian.
Ketika sampai pada tahap bisa mencapai pengenalan dirinya yang sejati, maka pada waktu itu, ia akan berkata, "Akulah Kebenaran!"
Pada pencapaian itu, kehidupan dan kematian adalah indah dan merupakan pesta yang tiada berakhir."
"Guru, sungguh kata-kata yang indah. Aku jadi bertanya-tanya, apakah sebelum mati, aku akan bisa mengena diriku, sehingga hidupku menjadi berarti?"
Sang Guru bangkit dari duduknya, menghampiriku dan menepuk bahuku. Tanpa suara, hanya sebuah anggukan dan senyuman khas miliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H