Memaafkan banyak orang dengan mudah saja bisa mengatakannya, tetapi hanya segelintir yang bisa dengan tulus hati memaafkan. Bagaimana dengan kita?
Apakah ketika kita mengatakan memaafkan, kita sudah benar-benar bisa memaafkan seseorang yang telah berbuat salah atau menyakiti kita?
Seperti pada saat kita saling memaafkan dalam suasana khusus. Sungguhkah hati kita sudah dengan lapang dada memaafkan lalu melupakan kesalahan yang terjadi? Masih perlu dipertanyakan. Tentu kepada diri saya sendiri.
Tidak Mudah Memaafkan
Sebenarnya sungguh tidak mudah memaafkan mereka yang telah melukai atau menyakiti hati kita. Perlu kebesaran jiwa dan belas kasih. Dalam hal ini jelas semua agama mengajarkan melalui teladan rasul dan nabinya. Buddha pun mengajarkan demikian.
Namun selain itu kita bisa belajar kepada Nelson Mandela misalnya. Orang yang pertama dimaafkan ketika ke luar dari penjara adalah sipir yang menyiksanya selama di penjara 27 tahun. Mahatma Gandhi juga memaafkan orang yang membunuhnya. Sri Paus Yohannes Paulus II melakukan hal yang sama. Memaafkan dan mengunjungi penembaknya di penjara.
Yang terbaru adalah kasus terbunuhnya seorang putri pada awal Maret 2014. Korban bernama Ade Sara, mahasiswi Bunda Mulia yang baru berumur 19Â tahun dibunuh oleh mantan kekasih yang dibantu kekasihnya.
Ade merupakan anak semata wayang keluarga Bapak Suroto dan Ibu Elizabeth Diana. Bayangkan, bagaimana perasaan kedua orangtua Ade Sara?
Yang umumnya terjadi adalah keluarga korban akan histeris dan marah kepada pelaku. Bahkan bisa terjadi akan main hakim sendiri. Bukankah sering kita saksikan kejadian ini. Emosi yang lebih berbicara. Jauh dari urusan memaafkan. Bisa kita maklumi. Karena kemungkinan kita akan melakukan hal yang sama.
Tetapi ayah Ade Sara, Suroto dan istrinya justru sejak awal sudah mengatakan memaafkan kedua pelaku plus bermaksud minta maaf bila anaknya ada kesalahan. Luar biasa. Kita pun bisa belajar dari kasus ini. Lebih indah memaafkan daripada menyimpan dendam.
Belajar Memaafkan