Ketika seharusnya kita sepenuh hati menyerahkan diri padaNya, namun adakalanya kita tetap tak rela juga, mengapa? [caption id="attachment_103267" align="alignleft" width="173" caption="syahla-syahla.blogspot.com/"][/caption] Dalam suasana rumah ibadah yang khusuk dan hening tatkala sedang berlangsung upacara ibadah . Seorang lelaki tampak sedang konsentrasi mengikuti rangkaian upacara tersebut. Namun saat bersamaan ada datanglah sebuah gangguan . Ternyata ada yang meneleponnya. Ketika ia merasakan getaran pertama kali dikantong celananya , akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan meneruskan ibadahnya denga khusuk .
Berselang berapa lama kemudian , getaran itu kembali datang dan ia masih bisa menguasai diri . Tetapi yang menelepon tak tahu diri atau memang ada hal yang penting , getaran itu kembali terjadi dan kali ini seorang lelaki ini sudah kehilangan kesabarannya kemudian langsung merogoh kantong celananya untuk meraih hpnya .
Begitu dilihat nomor panggilan yang masuk adalah seorang teman , ia langsung komplain , " Eh, dasar kuya, kenapa lu telepon terus ? Gua lagi sembahyang tahu . Apa gak bisa sabar neleponnya nanti aja !!! " Karena suaranya sampai begitu keras, mau tak mau sebagian orang menengok kearahnya dan sangat mengganggu jalannya ibadah.
Kalau diteliti dan dipelajari , sebenarnya siapa yang mengganggu siapa? Bukannya ia sendiri yang mengganggu dirinya sendiri dan kemudian mengganggu orang lain dengan sikapnya ? Mengapa ia masih tak rela untuk mematikan hpnya ketika sudah berada didalam rumah ibadah barang sekejap ? Mengapa masih tak bersedia mendamaikan hatinya untuk dijamah Tuhannya ?
Pertanyaannya ,sayakah seorang lelaki itu ataukah anda? Atau pula dia?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H