[caption id="attachment_170871" align="alignleft" width="300" caption="sumber gambar: langkahkebebasan.blogspot.com "][/caption] Sahabat, benarkah dia seorang sahabat sejati? Aku mulai ragu dan mempertanyakan kalah sikapnya mulai menunjukkan perubahan! Namun akhirnya... Dalam beberapa bulan ini aku tak pernah lagi mendegar suara dan tawanya. Dia jarang sms, apalagi telpon. Sesekali saat dia telpon juga aku lagi tak dekat HP. Maka jadinya kesempatan selalu terlewatkan. Karena kesibukan akhirnya pun aku lupa untuk menelepon balik. Tapi jujur aku katakan, kerinduan datang saat dia tak ada. Ada sedih saat tahu dia sakit. Ada bahagia ketika dia sedang senang. Kehadirannya sangat berarti bagiku. Ada dia terasa lengkap rinduku. Tak melihatnya seperti ada sesuatu yang kurang dan tak sedap. Bagaikan mekar bunga yang tak didatangi kumbang. Sahabat itu namanya Ken, dia wanita yang amat manis dan enerjik. Sekilas dia seperi gadis belia nan manja. Padahal tidak. Ken termasuk wanita sudah cukup dewasa. Karena usianya sudah kepala tiga. Ken juga sudah punya 3 orang anak. Tapi mungkin karena perawakannya kecil nan berisi, Ken terlihat lebih awet dari usianya. Wajahnya selalu menarik perhatian setiap pria untuk meliriknya. Senyuman selalu menghias di wajahnya. Matanya bulat. Bibir dan hidungnya mungil. Ken adalah sahabatku. Saat kehadirannya memberi warna dalam hidup ini. Kami selalu berbagi tawa dan tangis. Suka duka. Keceriaan dan kesedihan. Sehingga beban berat bisa menjadi ringan. Dialah teman, saat sepi akan diramaikannya. Saat sedih ada penghiburan darinya. Saat ada tawa Ken akan membagikannya. Aku percaya pada Ken sepenuhnya. Tak ada lagi rahasia diantara kami. Luar dalam kami saling mengetahui. Semua tentangnya aku tahu. Begitu juga sebaliknya. Kami sepertinya adalah sahabat sehati. Hanya ada satu yang tak kusukai dari Ken. Gaya hidupnya yang boros. Suka berbelanja. Sampai suatu hari, kondisiku benar-benar sulit. Ken adalah orang pertama yang kuberitahu tentang masalah yang kuhadapi. Sesuatu yang tak pernah kuharapkan terjadi dalam perjalanan hidupku. Usaha konveksi dan beberapa toko pakaian yang kurintis susah payah mengalami kebangkrutan. Akibat ulah suamiku yang hobi berjudi. Hutang-hutangku menumpuk. Rumah mewah yang kini kuhuni dengan sangat terpaksa akan kujual untuk melunasi hutang-hutangku. Aku tak sanggup lagi rasanya memutar otakku. Setiap hari selalu saja ada orang yang datang ke rumah menagih hutang padaku. Saat itulah Ken semakin membuatku terharu dengan ketulusannya. Ken memberiku pinjaman untuk membayar hutang-hutangku. Masalah sementara teratas. Aku dapat sedikit bernafas lega. Aku merasa beruntung memiliki seorang sahabat yang selalu siap membantu kala dirundung masalah. Akupun berjanji pada Ken akan segera melunasinya nanti saat rumahku telah laku terjual. Ken membolehkan, maka akupun sangat berterimakasih. Karena dengan bantuan uang dari Ken satu masalahku selesai. Waktupun berlalu, kini hari-hariku terasa lebih berat. Akupun akhirnya pindah ke sebuah kontrakan kecil dengan ke-4 anak-anakku. Aldi si sulung yang pendiam. SMU kelas 2. Indra yang hobi main game, kelas 1 SMU dan si bunga Rendy baru naik kelas 1 SMA. Satu lagi adalah satu-satunya wanita dalam keluarga, Tina, suka menyanyi masih kelas 2 SMP. Suamiku Mas Imam terpaksa harus berurusan hukum akibat tertangkap berjudi dan menipu beberapa koleganya. Lengkap sudah penderitaanku. Kami hanya mampu membayar rumah petak kecil dengan satu kamar. Tetapi kami menajalaninya dengan ikhlas. Inilah kenyataan hidup yang harus aku hadapi. Untunglah anak-anak dan suami dapat memahami keadaan keluarga. Walau memang berat kenyataan ini. Tetapi aku selalu menguatkan mereka. Untuk membayar kontrakan itu akupun harus meminjam ke sana-sini. Aku masih menunggu rumah mewahku laku di jual secepatnya. Karena memang sangat mendesak. Suatu hari Ken dan suaminya datang ke pondok kecilku. Dia menangis melihat rumahku. “Ratih, kasihan kamu, biasanya kamu tinggal di rumah mewah, sekarang seperti ini. Bersabar ya, semoga Tuhan memberimu kekuatan untuk tetap bisa bertahan dalam kondisi berat ini.” Ken memelukku dengan tangis haru, tapi aku biasa saja. Bagiku tinggal di rumah kecil seperti ini tidak masalah. Karena ternyata hatiku lebih tenang di sini. Namun siapakah yang menyangka. Ken sahabatku itu akhirnya membuatku menagis setiap hari. Hingga aku jatuh sakit. Kecewa dan bahkan menderita karena dia. Aku awalnya memang menyesali kejatuhan yang terjadi. Tetapi kemudian aku dapat menerima semua keadaan ini dengan ikhlas dan tidak sekalipun pernah meratapi. Bagiku hidup adalah kenyataan. Apapun yang terjadi hidup tak boleh berhenti. Mengapa justru Ken yang tidak menerima keadaanku? Seakan ia tidak akan bisa menerima keadaanku. Bila begini terus keadaannya. Mungkin satu hal yang terlupakan adalah bahwa Ken bukanlah sahabat yang bisa menerimaku dalam keadaan yang kaya dan miskin. Yang tak pernah kubayangkan, Ken selalu mendesak untuk segera melunasi utang-utangnya yang awalnya kukira tulus dipinjamkan. Ken sepertinya ketakutan utangnya tak terbayar olehku. Alasannya, ia juga sedang butuh dana untuk memperluas usaha garment dan toko pakaiannya. Sampai akhirnya kuserahkan semua surat rumah pada Ken sebagai jaminan. Tanpa banyak kata, Ken mengambil dan berlalu. Keakraban yang kurasakan selama ini sirna. Perlahan aku mulai bangkit. Memulai semua dari awal lagi. Aku selalu berpikiran positif dan mengambil hikmah dari kejatuhanku. Aku yakin dengan kejadian ini, akan lebih membuatku lebih tegar menghadapi hidup. Kehilangan harta tak membuatku mengalami kesedihan yang mendalam. Karena aku masih memiliki keluarga yang setia menemani. Namun belakangan ini, aku merasakan satu kehilangan yang begitu berat untuk kuterima. Kehilangan Ken, sahabat yang selalu kuanggap yang terbaik. Ada kehilangan sesuatu yang begitu berarti bagiku. Kini seperti ada jarak diantara kami. Perlahan bayangan Ken menghilang dari anganku. Kini aku lebih fokus untuk memulai lagi usaha secara kecil-kecilan. Aku selalu yakin mampu melakukannya dengan usaha dan doa. Waktu terus bergulir. Sampai aku bisa melupakan Ken. Namun tak kuduga, sosoknya hadir tatkala aku baru keluar dari pintu rumahku. Lama kami terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Sampai Ken berkata,"Ratih, maafkan aku ya waktu itu. Aku sungguh menyesal telah membuatmu kecewa. Kini aku datang benar-benar ingin menjadi sahabatmu yang sesungguhnya." Tubuhku bergetar mendengar apa yang baru saja dikatakan Ken. Ada ketulusan yang kurasakan. "Aku sendiri sangat kecewa pada diriku. Mengapa aku sampai bisa memperlakukan kamu demikian. Kini aku datang ingin menebus kesalahanku. Aku aku membantumu membangun kembali usahamu, Ratih!" Tak sanggup aku mengeluarkan kata-kata dari mulutku. Tanpa kusadari, justru yang keluar adalah airmataku. Yang bisa kulakukan segera memeluk Ken dengan erat. Kulihat bulir-bulir airmata mulai berjatuhan dari matanya yang bening. "Ratih, kita bangun kembali persahabatan kita hari ini. Aku janji tak akan berubah lagi. Biarlah matahari menjadi saksinya. Mau, kan?" ucapan Ken kubalas dengan anggukan sambil mengusap pipiku yang basah. Salam kasih sayang Kolaborasi No 127: Fitri y. Yeye+K. Rajawen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H