Sungguh adalah hal yang wajar bila kita mengharap penghargaan dan perhatian dengan apa yang kita lakukan. Pada kodratnya memang demikian adanya makhluk yang bernama manusia.
Sungguh dapat dipahami bila hadir rasa kecewa bila apa yang sudah kita lakukan dengan sepenuh hati itu tak mendapat perhatian yang layak. Manusiawi sekali.
Masalahnya akan menjadi masalah ketika perhatian dan penghargaan yang kita nantikan tak memadai, sehingga menyebabkan munculnya rasa frustasi. Ini sudah berlebihan. Sudah tidak wajar lagi.
Di dalam dunia tulis-menulis pun hal ini terjadi. Bahwa kita yang menulis secara naluri berharap setiap tulisan kita akan dihargai. Ketika banyak yang membaca dan memberikan komentar serta nilai spontan muncul rasa senang dan bangga. Ada perasaan dihargai.
Sebaliknya ketika tulisan kita cuma dikunjungi dan dikomentari segelintiran orang diam-diam ada kekecewaan. Padahal sudah semalam suntuk kita menulis dengan tekun.
Bila ada yang mengatakan bahwa ia tidak peduli tulisannya dibaca atau tidak. Banyak komentar atau sedikit. Yang penting menulis saja. Kalau begitu kenormalannya sebagai manusia perlu dipertanyakan. Itu negatifnya.
Positifnya ia layak menjadi guru kita semua. Sebab tingkat kebatinannya sudah melebihi dewa. Tiada kemelekatan lagi dalam diri. Sudah mencapai kekosongan batin. Luar biasa.
Tak dipungkiri bila masih ada teman-teman kita yang kecewa berat sampai tingkat patah hati dalam menulis. Penyebabnya tiada lain merasa tidak mendapat perhatian atau penghargaan. Malahan bisa jadi malah diremehkan. Sakitlah hati.
Hukumnya, apabila kita selalu mengharap orang lain yang akan menghargai tulisan kita. Pada saatnya kita akan kecewa dan frustasi. Sakit hati melanda.
Oleh sebab itu pilihan yang paling baik adalah belajar menjadi orang pertama yang menghargai tulisan kita sendiri. Itu yang saya terapkan selama ini.
Walau ada yang menghina tulisan saya sebagai sampah saya tak perlu rela. Karena selalu ada hati yang saya letakkan dalam setiap tulisan.