Aku perhatikan wanita itu lincah sekali membongkar ban motorku yang kempes. Tidak ada bedanya dengan penambal yang berkelamin pria. Kulihat ia begitu riang melakukan pekerjaannya tanpa beban.
Rasanya baru pertama kali ini aku bertemu tukang tambal ban seorang wanita, karena selama ini yang kutemui adalah seorang pria.
Kurang lebih setengah jam acara tambal selesai. Kusodorkan uang sepuluh ribuan dan wanita itu mengembalikan tiga lembar ribuan. Sambil memandanginya aku ucapkan terima kasih.
"Akulah yang terima kasih!" tukasnya dengan logat Medan yang khas.
Entah karena jodoh untuk lebih lama bersama wanita itu atau karena kebetulan, ketika hendak meneruskan perjalanan, hujan turun dengan lebatnya.
Terpaksa dan diiringi sukarela aku berteduh di lapak tambal ban yang terletak di pinggiran Jakarta bagian utara. Kebetulan memang sedang tidak terburu-buru dan tidak membawa jas hujan.
"Berteduh sajalah bang. Memang mau pulang ke mana abang ini?" tanya wanita itu penuh keakraban.
"Terima kasih. Mau pulang ke Tangerang!" jawabku tanpa segan.
"Duduk sini, bang. Duduklah!" ia mempersilakan aku duduk di dekatnya.
Aku mendekati dan menghempaskan pantatku di bale bambu yang ada. Dari dekat, bisa kulihat wajah wanita itu ternyata lumayan juga. Khas Medan sekali. Dengan raut wajah yang berkarakter keras.
Tubuhnya cukup kekar untuk ukuran seorang wanita dan dibalut pakaian kerja layaknya seorang tukang tambal ban. Rambutnya dipotong pendek, sehingga karakter kerasnya lebih tampak lagi.