Sesuatu hal yang dicapai dengan susah payah dan kerja keras, kemudian bisa menikmati kemapanan dan kenyamanan. Siapakah yang rela meninggalkannya? Tentu memerlukan kekuatan hati untuk bisa melepaskan kesuksesan karier yang telah dicapai. Namun yang seringkali dilupakan adalah ada harga yang harus dibayar dibalik itu semua!
*
[caption id="attachment_91329" align="alignleft" width="507" caption="Senyum Jeung Siti//GettyImages* "][/caption]
Jeung Siti, wanita cantik dan enerjik. Wawasan luas dan pintar serta mudah bergaul. Diusianya yang baru mencapai 38, Jeung Siti tampak keibuan dan ayu.
Jeung Siti, semenjak muda sudah giat berkarier. Selagi muda apapun harus diraih begitu prinsipnya. Tak heran, selepas kuliah Jeung Siti merintis kariernya diberbagai tempat untuk mengasah kemampuannya.
Sampai akhirnya memantapkan hati dalam pekerjaan dibidang media. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Jenjang karier terus meningkat sampai puncaknya.
Sebagai wanita karier dan juga memiliki keluarga, tentu Jeung Siti menghadapi berbagai kendala, karena sang suami juga bekerja. Rentetan pekerjaan sangat menyita waktunya yang ada. Pergi pagi pulang malam adalah hal yang sudah biasa dilakoninya.
Tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab begitu alasannya. Bahkan tak jarang hari libur dihabiskan di kantor. Maklumlah Jeung Siti bekerja dibidang media yang tak jarang harus mengejar batas waktu.
Walaupun ada kendala dalam mengatur waktu, Jeung Siti merasa belumlah ada masalah berarti selama ini. Sang suami juga tidak begitu mempermasalahkan.
Kedua anak di rumah kelihatan juga menikmati hidupnya tanpa pernah mengeluh akan kesibukan kedua orangtuanya. Semua urusan sudah diserahkan kepada bibi yang sudah dianggap seperti keluarga.
Kelihatan dari luar keluarga Jeung Siti adalah keluarga yang harmonis bahagia tanpa masalah. Tetapi kenyataannya memang hubungan keluarga ini baik-baik saja. Jeung Siti dan suaminya juga selalu mesra hubungannya.
Jeung Siti juga selalu menyempatkan waktu untuk berkomunikasi dengan kedua anaknya yang tidak banyak menuntut itu. Tini yang sudah kelas 2 SMP dan Seno baru kelas 6 SD. Anak-anak yang penurut. Semua keinginan mereka terpenuhi.
Hari berlalu, bulan menjemput, dan tahun menjelang. Jeung Siti mendapatkan kenyataan. Tini yang selama ini kelihatan pendiam, ternyata bermasalah di sekolahnya akhir-akhir ini.
Semangat belajarnya jauh merosot dan sering mengantuk di sekolah. Ternyata selama ini juga sering keluyuran bersama temannya ke mall dan keranjingan bermain game online.
Seno juga tak ketinggalan untuk menghabiskan waktunya bermain game playstation di rumah secara diam-diam. Gairah belajarnya juga serasa hilang.
Permainan seru game yang ada saat ini memang sungguh membius anak-anak seumuran Tini dan Seno. Lupa waktu, lupa makan dan lupa tidur. Selalu bikin penasaran dan tertantang untuk terus bermain.
Tak heran pelajaran anak-anak Jeung Siti bermasalah dan nilai raport sebagian dihiasi angka merah. Tentu saja Jeung Siti kaget tak menduga. Ingin segera meledak amarahnya, namun tertahan. Sebenarnya semua ini salah siapa? Masih ada suara hati yang mengingatkan!
Melihat kenyataan ini, timbul kesadaran di dalam diri Jeung Siti, bahwa ada yang salah pada dirinya. Sebagai ibu seharusnya ia lebih memperhatikan kedua anaknya di rumah bukannya lebih asyik bergelut dalam pekerjaan di luar.
Tetapi nasi telah menjadi bubur. Kebimbangan bergelayut di hatinya kini. Terbersit di hati kecil, agar segera berhenti berkarier untuk lebih mengurus keluarga. Namun pikirannya melarang keras, karena sangat sayang bila harus ditinggalkan.
Problema berat dihadapi Jeung Siti. Sepertinya aku bisa merasakan beban dan kebimbangan untuk menentukan masa depan antara karier dan keluarga. Sebagai rekan karib aku hanya bisa turut prihatin dan sedikit saran.
Orang lain hanyalah bisa memberikan saran dan pertimbangan. Semua keputusan adalah Jeung Siti yang harus memutuskan. Dalam diam, Jeung Siti meminta petunjuknya.
Kesadaran dan kejernihan pikiran akhirnya melahirkan ketetapan. Jeung Siti dengan mantap, memilih untuk berhenti bekerja dan lebih memilih untuk mengurus keluarga.
Baginya keluarga adalah yang utama. Anak-anak adalah pelita hati yang akan menerangi hidupnya saat ini dan kelak. Sang suamipun sangat mendukung keputusan Jeung Siti ini.
Akhirnya Jeung Siti dengan hati yang mantap untuk meninggalkan karier yang telah dibinanya dengan airmata. Tetapi kini Jeung Siti bisa kembali ke rumah dengan wajah penuh senyuman.
Awal kehidupan yang lebih indah telah dimulai, menyongsong dengan penuh harapan untuk kedua buah hatinya.
"Lega rasanya, aku kini bisa mengambil keputusan yang melegakan dan sesuai dengan suara hati. Aku bisa mengambil keputusan dengan mampu membuang segala keegoan yang melilitku. Sungguh plong dan bahagia aku saat ini!" Kata Jeung Siti padaku saat hendak berpamitan dari tempatnya berkarier selama ini.
Aku bisa melihat senyumannya yang penuh kebahagiaan.
Selamat, Jeung Siti!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H