Menulis ibarat adalah suara hati saya, jadi jangan-jangan coba menggertak saya untuk berhenti menulis. Sebab Anda akan kecewa berat!
*
Pernahkah Anda digertak? Mungkin pernah, mungkin tidak!
Saat digertak, pasti juga reaksi kita berbeda.
Bisa tak peduli, ketakutan, atau bahkan tertantang menjadi berani dan melawan serta balik menggertak. Memang gertak-menggertak tak jauh dari hidup kita yang keras ini.
Soal gertak-menggertak tentu saja saya pernah juga digertak dalam hidup yang sudah sekian lama ini. Tetapi saya sendiri juga pernah menggertak untuk mempertahankan diri. Menghadapi gertakan, kadang saya takut, tapi adakalanya saya bisa timbul keberanian untuk menghadapi gertakan itu. Bahkan adakalanya gertakkan semakin menguatkan tekad dan semangat saya menghadapinya.
Khususnya dalam menulis (di Kompasiana), awal-awalnya saya juga pernah mendapatkan gertakan. Karena waktu itu suka menulis topik agama dan ditambah belum berpengalaman, sehingga begitu polosnya saya menulis. Digertak atau dicaci, pertama kali menciutkan nyali dan ingin berhenti menulis daripada menimbulkan masalah.
Gertakan bukan main-main, bukan hanya kata-kata kasar, tetapi bahkan dikirimi ilmu hitam_boleh percaya, boleh tidak. Pernah saya tuliskan disini.
Tetapi kemudian justru membuat saya semakin ingin menulis dan membulatkan tekad untuk membuktikan, bahwa saya tidak seburuk yang dituduhkan.
Gertakan juga datang dari si kecil. "Papi jangan nulis sih, nanti bisa dibunuh orang loh! Soalnya dede mimpinya begitu, nanti ada orang jahat yang gak senang sama papi! Apa enaknya sih menulis?"
Saya hanya menanggapi dengan berkata,"Yang benar, dek?!"
Selanjutnya menulis jalan terus. Karena menulis adalah hati saya, sehingga tak bisa berhenti untuk menulis.
Tak berhenti sampai disitu gertakan yang saya dapatkan.
Karena sering menulis dan tak ada hasilnya, istri juga ikut menggertak, agar saya berhenti menulis karena hanya buang-buang waktu.