Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Gengsi

20 Mei 2014   16:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapa yang tidak punya gengsi? Tergantung besar atau kecil gengsi yang kita miliki.  Semua tergantung bagaimana caranya kita mengelola rasa gengsi yang timbul, sehingga tidak merugikan atau menipu diri sendiri. Karena ada yang demi untuk menjaga gengsinya berani membayar mahal dengan berhutang, mencuri atau berbohong. Demi gengsi berani menyusahkan diri sendiri.

Demi Menjaga Gengsi Malah Menyusahkan Diri

Demi menjaga gengsi, ada yang tak sayang mengeluarkan uang puluhan atau ratusan juta hanya untuk sebuah tas. Bahkan ada rela merogoh kantong miliaran rupiah hanya demi membeli sebuah jam tangan. Semua demi untuk membeli gengsi. Demi gengsi memaksakan diri membeli mobil mewah walau dengan cara hina. Korupsi uang rakyat yang sudah dalam kesusahan hidup misalnya.

Saya gini - gini juga punya gengsi. Tapi dalam bentuk yang lain. Bukan menjaga gengsi dengan memakai jam tangan Rolex misalnya. Demi menjaga gengsi sampai-sampai saya tidak berani mengangkat telepon yang sedang bergetar di dalam kantong celana ketika sedang berkumpul dalam sebuah acara. Sengaja digetarkan karena nada deringnya saja masih poliponik. Kalau saat dinyalakan nada pembukanya berbunyi 'hapenya orang miskin'.

Ada apa?  Gengsi! Karena telepon genggam  milik saya cuma bisa buat teleponan dan SMS-an. Sementara yang di kiri - kanan _ bahkan anak - anak_ semua sudah model layar sentuh keluaran terkini. Kalau orang - orang melihat  telepon genggam yang saya gunakan masih model kuno, mau ditaruh di mana muka saya yang ganteng ini?

Beda kalau dulu masih pakai telepon genggam keluaran lawas merek terkenal. Itu barang selalu dalam genggaman. Saat menerima panggilan masuk gayanya beda dan seakan - akan hendak berkata pada orang - orang di sekeliling,"Lihat dong hape saya baru dan keren nih!"  Padahal itu barang boleh kreditan pakai kartu kredit pinjaman lagi.

Harapan Penghargaan yang Berlebihan

Pada dasarnya kita memang butuh penghargaan  dengan apa yang kita lakukan. Namun  akibat terlalu berharap penghargaan yang berlebihan dari orang lain, agar memiliki harga diri atau martabat kita menguras banyak energi.

Demi untuk mendapat penghargaan kita berani membayar mahal. Ketika kita bisa memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain, kita akan merasa harga diri atau gengsi kita akan tinggi. Untuk itu kita akan memilikinya dengan cara apa pun.

Tak heran kalau ada yang akan tampil habis - habisan dalam setiap pertemuan dengan teman - temannya. Menggunakan tas puluhan juta rupiah bergantian. Selalu mengunakan perhiasan berlian. Bahkan saya pernah baca sebuah kisah dimana ada seseorang yang demi menjaga statusnya sampai rela menyewa mobil - mobil mewah untuk datang bertemu teman - teman sosialitanya.

Apa yang terjadi? Hutang menumpuk jadinya. Ini yang namanya menyusahkan diri hanya untuk mendapatkan penghargaan yang semu dan dalam khayalan akan kehebatan diri dengan tampil bak orang kaya raya. Padahal semua itu omong kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun