Saat diam dan diam yang sebenarnya, maka akan ada pertemuan kediaman Sang Guru Sejati yang akan memberi petunjuk dan mengajarimu.
*
Malam itu, setelah selesai dalam acara dialog bersama Sang Guru, aku dengan beberapa murid yang lain melanjutkan dengan ritual diam.
Meditasikah? Bisa dikatakan demikian. Tetapi kami tidak harus duduk diam terpaku seperti patung yang hanya memperhatikan keluar masuknya nafas. Atau berlatih mengosongkan pikiran. Kami boleh berjalan atau duduk, tetapi sepenuhnya wajib diam dalam kekhusukan dan kesadaran.
Sepanjang malam ditemani Sang Guru yang tak terlihat lelah sedikitpun, kami cukup diam, namun dengan terkonsentrasi pada setiap apa yang terjadi. Tanpa suara, baik dari mulut maupun dari gerakan yang kami lakukan.
Diam. . . Diam . . . Diam . . .
Seakan bumi berhenti berputar, pikiran tidak bergerak. Tarikan nafas terhenti. Bahkan denyut jantung tak terasa lagi.
Aliran darah terasa tak mengalir.
Mari diamlah bersama kami dalam kediaman saat ini. Rasakan keheningan dan kesunyian. Hanya nurani yang bersuara. Biarkan suara itu bergema memenuhi seluruh relung hatimu.
Bila Anda telah lama cuek atau selalu mengabaikan suara nurani selama karena tak memiliki waktu untuk itu, dengarkanlah dengan jelas pada saat ini.
Tak perlu membantah, diam sajalah. Sebab Ia mengasihimu, walaupun telah lama engkau lupakan dan campakkan.
Mungkin saja, seluruh tubuhmu akan bergetar hebat dan airmatamu mengalir deras. Biarkan saja, rasakanlah. Tak perlu malu.
Waktu terus berlalu mengalir sesuai hukumnya. Aku, Sang Guru, dan para murid lainnya terus khusuk dalam ritual diam dan semakin diam dalam diam.
Hingga menjelang pagi, saat tampak menyapa bumi dengan sinarnya yang sungguh cerah, secerahnya hati kami semua.
Sungguh waktu yang berharga telah dilalui untuk mendapatkan seberkas pencerahan.
"Selamat pagi, selamat menikmati kecerahan hati!" Hanya itu yang terucap dari mulut Sang Guru.
Dengan teratur kami semua membubarkan diri.
Sambil berjalan aku masih sempat merenungi.
Selama ini aku terlalu banyak bicara. Sibuk dengan segala kegiatan duniawi, sehingga tak sempat lagi mendengarkan suara nurani.
Aku mengabaikannya, dan aku hidup hanya dengan menggunakan pemikiranku saja. Terlalu mengandalkan kepintaran otakku yang selalu memiliki pembenarannya untuk terjebak dalam kesalahan-kesalahan.
Itulah selama ini yang menjauhkan hidupku dari hakekat kehidupan yang dikehendaki Yang Maha Kuasa.
Itulah yang menyebabkan aku terjerumus dan jebakan kesalahan demi kesalahan tanpa ada kekuatan untuk menyadarkan diri.