Memang enak dan bisa terhibur saat kita menertawakan kemalangan orang lain, padahal mungkin saja saat itu kita sendiri sedang dalam kemalangan. Yang penting ketawa dulu!
* + * + *
Saat menunggu untuk cek pekerjaan di lobby sebuah sekolah internasional di Kemang. Terlihat seorang bule _ yang saya pastikan ada guru di sekolah tersebut_ bolak-balik dari lobby ke tempat parkir. Dimana antara lobby dan tempat parkir dibatasi kaca.
Sekali dua kali keluar masuk tidak ada masalah.
Rupanya bule ini sedang menunggu rekan-rekannya untuk pulang bersama, karena hari itu memang sudah sore, selesai bubaran sekolah.
Tiba suatu kali ingin keluar dari tempat parkir lagi, terdengar sebuah suara yang sedikit mengagetkan. Karena saya memang berdiri tidak jauh dari tempat kejadian. Ternyata si bule menabrak kaca pembatas yang berdiri kokoh.
Saya sendiri melihat bulenya kaget dan kelabakan. Tapi saya tidak sempat melihat ekspresinya selanjutnya. Karena saya segera memalingkan muka, seakan-akan tidak melihat kejadian tersebut.
Awalnya saya tertawa lepas, kemudian tertahan. Kasihan juga, tidak tega menertawakan kemalangan orang lain didepan mata ( hahaha_ sekarang kan tidak didepan mata lagi).
Segera saya ingat peristiwa yang saya alami sendiri ketika hendak mejeng di mall Atrium, Senin-Jakarta, waktu masih muda dulu. Dimana mall baru ada satu dua.
Ketika itu dengan gayanya berjalan, saat hendak masuk bukannya melalui pintu, justru dinding kaca yang ditabrak, sehingga segera mengundang perhatian.
Saya masih membayangkan bagaimana malunya saya saat itu. Tapi saat ini malah geli sendiri.
Walaupun sambil menahan geli, rasanya memang saya tak sanggup untuk terus tertawa.
Umumnya kita manusia memang terbiasa untuk menertawakan kemalangan orang lain. Seakan-akan kemalangan orang lain itu bisa menghibur kita. Terkadang menertawakan masih belum cukup, masih disertai mensyukurinya.
Kita telah kehilangan rasa untuk mengasihi.
Berhubungan dengan menertawakan kemalangan, pada jaman sekarang banyak juga yang tak segan menjual kemalangannya untuk ditertawakan. Atau juga sengaja memalangkan dirinya untuk ditertawakan.
Malang nian!
Pada saat ini, saya cukup untuk menertawakan kemalangan saya dahulu, karena belum sanggup untuk mengasihi kemalangan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H