Hidup adalah bertumbuh. Ibarat pohon yang terus bertumbuh. Berakar kuat menghunjam ke dalam tanah dan berdaun lebat serta menghasilkan banyak buah. Apakah kita telah bertumbuh dan berbuah?
Ya, kalau secara fisik sejak dilahirkan terus mengalami pertumbuhan sampai dewasa dengan asupan makanan dan minuman yang kita konsumsi setiap hari.
Pertumbuhan anak - anak kita sangat menjadi perhatian, karena kita ingin anak - anak tumbuh sehat dan tak kekurangan gizi. Adalah sebuah kebanggaan bila anak - anak bisa tumbuh sehat dan mendapat pujian dari kiri - kanan.
Bagaimana dengan jiwa kita? Apakah ada pertumbuhan yang semakin membuat jiwa kita dewasa? Berita mirisnya bahkan ada yang mengatakan bahwa pertumbuhan jiwa manusia ada yang berhenti sebelum umur sepuluh tahun.
Sebab banyak dari kita yang walau fisik sudah dewasa atau bahkan tua, tetapi jiwanya masih kerdil. Sensitif, mudah tersinggung, gampang emosi, pendendam, picik, suka mencari - cari kesalahan orang lain dll. Ini menandakan tiada pertumbuhan jiwa lagi yang membuat kita dewasa dalam kerohanian. Ada jiwa - jiwa yang layu di balik tubuh - tubuh yang lapuk, sehingga perilaku kita tidak mencerminkan jiwa yang bertumbuh dan utuh.
Apakah sudah bertumbuh?
Apakah saya sudah bertumbuh dalam perjalanan hidup yang sudah cukup panjang ini? Pertanyaan ini layak kita pertanyaankan pada diri sendiri di dalam kesunyian malam yang hening, sehingga kita menemukan kejujuran dan kebeningan jawabannya.
Jiwa, benih kehidupan yang telah disemaikan di dalam raga kita pada dasarnya adalah bersih dan sejati diri yang penuh kebaikan. Penuh dengan sifat - sifat mulia.
Tetapi pada perjalanannya malah tidak bisa bertumbuh karena dipenuhi semak belukar kekotoran batin. Amarah, kebencian, mudah tersinggung, dengki, tamak dan sifat buruk lainnya.
Jiwa tak bertumbuh dan layu. Pada akhirnya yang berkembang justru keakuan yang justru membuat jiwa kita sulit tumbuh berkembang. Keangkuhan, merasa paling benar, mau menang sendiri, picik, berprasangka buruk, akal bulus.
Walau penuh kesalahan namun keakuan akan selalu menyangkal. Jiwa yang masih sayup - sayup bersuara akhirnya tenggelam oleh ramainya pembenaran. Segala sumber kebenaran dengan keras akan dianggap angin lalu.