Kerap kali kita tidak mau memahami penyebab seseorang melakukan kesalahan sehingga kita merasa layak untuk memberikan  hukuman atau penghakiman.
Hidup bukan sekadar urusan kalau kamu salah memang layak dihukum. Namun, dalam urusan hukum memang tidak memberikan peluang untuk memberikan alasan apapun.
Misalnya seorang pencuri tidak akan terhindar dari hukuman dengan memberikan alasan mencuri karena takada uang buat beli susu anak. Ya, mencuri harus dihukum. Ada pasalnya.Â
Seorang koruptor juga tidak akan terbebas dari hukuman dengan alasan ia korupsi karena ingin membantu orang susah. Mencuri apapun alasannya tetap saja salah.Â
Itulah perlunya hakim yang bijaksana dalam memutuskan perkara tanpa melupakan susu kemanusiaan.Â
Dalam kehidupan ini  sisi nilai kemanusiaan menjadi hal yang penting dan ini tidak bisa hanya menilai  dengan hukuman.Â
Memaklumi kesalahan orang lain bukan berarti juga membenarkan kesalahannya. Yang sering luput dari penglihatan kita adalah di balik sebuah kesalahan ada kebenarannya.Â
Yang mesti kita pahami dengan benar mengapa seseorang melakukan kesalahan?
Kebenaran ini yang patut kita hargai juga. Urusan kesalahan menjadi bukan sekadar kita memaklumi, tetapi peduli dan membantu mengatasi kesalahan tersebut.Â
Bingung? Saya sendiri yang menulis sebenarnya bingung juga apa maksudnya. Jangan ikut bingung. Lanjut baca saja.Â
Apa yang tertulis terinspirasi dari video inspiratif yang pernah saya tonton. Kisahnya sangat mengharukan, sehingga tak kuasa saya menahan air mata agar tidak jatuh.Â
Paling tidak saya bersyukur air mata ini masih ada karena tersentuh. Air mata ini ada bukan karena cengeng. Penanda  kelembutan hati masih ada. Ehm...Â
Seorang murid kecil berlari datang terlambat ke sekolah. Ada perasaan takut. Guru menatap tajam padanya, mengambil sebuah penggaris untuk memberikan hukuman.Â
Ia memukulkan penggaris tersebut  ke telapak tangan si murid  sambil mengingatkan, agar murid lain jangan sepertinya yang datang terlambat. Tidak baik.Â
Keesokan murid ini terlambat lagi. Hukuman yang sama terjadi. Selanjutnya si murid kembali terlambat, guru mulai kesal dan tetap memberikan hukuman. Tanpa mau tahu penyebabnya. Terlambat ya salah dan harus dihukum.Â
Suatu hari saat hendak berangkat ke sekolah guru ini melihat muridnya mendorong seseorang yang berada di kursi roda. Orang itu adalah ayahnya yang lumpuh.Â
Sebelum berangkat ke sekolah si murid harus mendorong ayahnya ke tempat penitipan dahulu. Sungguh anak yang berbakti.Â
Melihat kejadian ini Pak Guru menjadi paham. Kenapa selama ini murid tersebut  selalu datang  terlambat. Ada rasa penyesalan di raut wajahnya.Â
Hari itu si murid pun tetap terlambat. Ketika masuk kelas  ia sudah tahu diri dan langsung menyodorkan tangannya  di hadapan gurunya siap menerima hukuman seperti biasa.Â
Ada kejadian di luar dugaan si murid, Pak Guru malah meletakkan penggaris di telapak tangannya. Sekarang justru ia yang meminta tangannya yang dipukul oleh muridnya.Â
Ada keharuan. Pak guru berlutut  dan memeluk muridnya penuh dengan perasaan bersalah.Â
Kisah kedua, seorang murid diminta untuk membacakan Pekerjaan Rumah. Baru membaca satu baris sudah selesai, sehingga mengundang tawa murid satu kelas. Kecuali teman satu bangkunya.Â
Lalu ia menceritakan kehidupan murid tersebut kenapa sampai tidak bisa menyelesaikan PR-nya. Karena setiap hari harus mengurus ibunya yang sakit. Mengurus pekerjaan rumah. Semua ia yang lakukan sendiri. Â Masak, menyapu, dan mencuci baju. Betapa melelahkan. Ayahnya bekerja di kota.Â
Semua murid terdiam dan merasa bersalah telah menertawakan teman sekelasnya. Bu guru pun terharu. Mereka akhirnya jadi paham dengan kondisinya.Â
Apakah anak yang mengerjakan PR lebih bernilai hidupnya daripada yang tidak?
Anak yang tidak mengerjakan PR itu sudah memberikan nilai di atas kehidupan, sementara anak-anak yang mengerjakan PR hanya akan mendapat nilai di atas kertas.
Manakah yang lebih bernilai?Â
Tentu saja hidup akan lebih bernilai bila kita mampu memahami kondisi seseorang bukan hanya dengan sibuk menghakimi atas kesalahannya.Â
Realitasnya kita sedemikian mudah menilai dan menertawakan kesalahan orang lain dengan apa yang kita lihat di depan mata. Padahal kita belum jelas mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi di balik kesalahan yang ia lakukan.Â
Kita tidak berusaha mencari kejelasan sehingga mampu untuk memaklumi apa yang sesungguhnya terjadi.Â
Seperti sudah dikatakan memaklumi kesalahan orang lain itu bukan berarti membenarkan kesalahannya, tetapi agar kita dapat membantu mengatasi kesalahan tersebut. Bukan justru penyesalan di kemudian hari karena telah salah menilai.Â
Ingat pula bahwa diri kita sendiri pun tidak lepas dari kesalahan. Bisa memaklumi dan memaafkan kesalahan orang lain, di lain waktu kita pun akan menerima hal yang sama.
____
@cermindiri, 27 Januari 2022Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H