Paling tidak saya bersyukur air mata ini masih ada karena tersentuh. Air mata ini ada bukan karena cengeng. Penanda  kelembutan hati masih ada. Ehm...Â
Seorang murid kecil berlari datang terlambat ke sekolah. Ada perasaan takut. Guru menatap tajam padanya, mengambil sebuah penggaris untuk memberikan hukuman.Â
Ia memukulkan penggaris tersebut  ke telapak tangan si murid  sambil mengingatkan, agar murid lain jangan sepertinya yang datang terlambat. Tidak baik.Â
Keesokan murid ini terlambat lagi. Hukuman yang sama terjadi. Selanjutnya si murid kembali terlambat, guru mulai kesal dan tetap memberikan hukuman. Tanpa mau tahu penyebabnya. Terlambat ya salah dan harus dihukum.Â
Suatu hari saat hendak berangkat ke sekolah guru ini melihat muridnya mendorong seseorang yang berada di kursi roda. Orang itu adalah ayahnya yang lumpuh.Â
Sebelum berangkat ke sekolah si murid harus mendorong ayahnya ke tempat penitipan dahulu. Sungguh anak yang berbakti.Â
Melihat kejadian ini Pak Guru menjadi paham. Kenapa selama ini murid tersebut  selalu datang  terlambat. Ada rasa penyesalan di raut wajahnya.Â
Hari itu si murid pun tetap terlambat. Ketika masuk kelas  ia sudah tahu diri dan langsung menyodorkan tangannya  di hadapan gurunya siap menerima hukuman seperti biasa.Â
Ada kejadian di luar dugaan si murid, Pak Guru malah meletakkan penggaris di telapak tangannya. Sekarang justru ia yang meminta tangannya yang dipukul oleh muridnya.Â
Ada keharuan. Pak guru berlutut  dan memeluk muridnya penuh dengan perasaan bersalah.Â
Kisah kedua, seorang murid diminta untuk membacakan Pekerjaan Rumah. Baru membaca satu baris sudah selesai, sehingga mengundang tawa murid satu kelas. Kecuali teman satu bangkunya.Â