Berbicara tanpa paham masalah secara taksadar sedang menunjukkan kebodohan diri.
Acap kali kita berbicara untuk meramaikan keadaan tentang satu masalah agar terlihat pintar, tanpa sadar hal ini justru memperlihatkan kalau kita  tak mengerti masalah yang ada.Â
Ketakpahaman satu sisi akan membuat kita tak menjangkau masalah yang ada sehingga tampak lucu dan akan dianggap bodoh.Â
Sementara di sisi lain ketika memahami dengan melampaui sehingga akan melebih-lebihkan masalah. Bergenit-genit dengan logika agar tampak pintar. Namun, akhirnya tetap dianggap bodoh juga. Bahasa gaulnya kepintaran.Â
Seperti kita tahu belakangan ini ada kehebohan berkenaan dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi.Â
Seperti biasa suatu aturan akan menuai pro dan kontra karena masing-masing punya penafsiran. Yang pro menganggap peraturan ini bagus karena melindungi korban kekerasan seksual, yang selama ini kurang mendapat perlindungan.Â
Sementara yang kontra menganggap ada bagian dari aturan ini yang berpotensi melegalkan  zina atau seks bebas. Karena merujuk pada kalimat "tanpa persetujuan korban", sehingga ketika dilakukan suka sama suka tidak apa-apa. Bukan kekerasan.Â
Ketika masalah ini terjadi diskusi atau perdebatan di televisi seorang rekan kerja menyeletuk, "Menteri enggak benar!"Â
Saat itu saya sendiri tidak paham masalahnya karena tidak mengikuti acaranya. Hanya sekilas mendengar suara perdebatan tersebut.Â
Saya juga tidak paham maksud dari rekan kerja ini berkomentar demikian.Â