Kata-kata tentang suatu hal yang kemudian menjadi persepsi tak jarang justru menyesatkan karena pada kenyataan bukan kebenaran. Stigma tentang suku tertentu misalnya.Â
Seorang teman merasa kesal dengan rekan-rekan kerjanya yang dianggap bermuka dua. Di depan bermanis kata, di belakang menista.Â
Di depan bicara tidak apa-apa, di belakang menghina. Bagaimana rasa yang ada bila mengalami hal ini di tempat kerja?
Gelisah dan terluka karena tidak pernah menyangka.Â
Kenapa bisa? Itulah manusia di dunia yang pandai bersandiwara. Muka dan bicara bisa semulia malaikat, tetapi di hati penuh dusta nan jahat.Â
Mungkin karena kesal dan sudah punya persepsi negatif sebelumnya sehingga teman ini menegaskan ternyata benar bahwa suku ini tidak bisa dipercaya. Lain di bibir lain di hati.Â
Karena selama ini keluarga atau teman sering mengatakan hal ini sehingga ia menjadi semakin percaya.Â
Ia yang sebelum itu memiliki  persepsi demikian lalu bertemu kejadian yang demikian semakin jadi kebenaran.Â
Namun, saya mengingatkan kebenarannya bukan demikian. Karena soal tidak dapat dipercaya orang apa  sama saja. Mau suku apapun pasti ada yang punya sifat ini.
Jadi, orang yang tidak dapat dipercaya bukan hanya milik suku tertentu, tetapi semua makhluk yang bernama manusia.Â