Apa daya bila virus korona sudah menyapa bertamu  ke tubuh dan merasa nyaman tinggal di situ. Diusir pun enggan pergi. Jadi, sabarlah melalui beberapa waktu bersama. Percaya diri boleh saja, hati-hati pun perlu ada.Â
Ada yang merasa panik dan cemas lalu kebingungan. Bila harus isolasi mandiri, obat dan vitamin apa saja yang direkomendasi teman  beli saja. Saking banyaknya kembali bingung minum yang mana.Â
Ada juga sekadar cemas, kemudian biasa saja. Menikmati isolasi di rumah penuh perhatian. Makanan sampai berlimpah. Vitamin  dan ramuan entah dari mana berdatangan tersedia.Â
Ada sindiran kena Covid-19 enak nian, libur 14 hari tetap dapat gajian, makan enak pula di rumah. Terlalu. Sakit mana ada yang enak.Â
Januari lalu saya mengurus adik yang terpapar Covid-19 yang cukup parah karena sudah sampai tahap sesak dan harus pakai oksigen.Â
Saya harus menunggu dua malam satu hari tanpa bisa ke mana-mana sampai mendapatkan ruang untuk isolasi dan perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat.Â
Waktu mengurus adik sebelum mendapat ruangan sampai berkali-kali saya ditegur dokter karena terlalu dekat jaraknya. Mau tidak mau harus dekat misalnya ketika menuntunnya ke kamar mandi atau memberikan sesuatu.Â
Kini, kedua anak juga terpaksa harus isolasi mandiri di rumah. Seperti kita tahu kondisi rumah sakit saat ini.Â
Anak yang nomor satu demam dan batuk. Satu lagi biasa saja. Padahal dia yang menukarkan ke kakaknya. Karena sudah dua minggu  kerja dari rumah.Â
Mendengar kabar ini mamanya yang sedang berada di rumah orangtua di luar pulau ingin segera pulang. Anak-anak justru dengan keras melarang. Mereka takut malah jadi tambah masalah dan ikut terpapar.Â