Katedrarajawen _Jangan meneladani para nabi. Serius ini. Jangan berkerut dahi ketika membaca kalimat ini. Bukan salah tulis. Ini kebenaran yang terasa pahit, bahwa selama ini kita telah salah menulis "meneladani" sebagai ungkapan menjadikan para nabi sebagai teladan.
Kita tidak layak meneladani para nabi, sebaliknya para nabi yang layak meneladani kita. Itu yang semestinya. Jangan terbalik.Â
Kenapa? Karena para nabi adalah manusia suci, sedangkan kita masih manusia yang penuh dosa. Mana pantas menjadi teladan buat para nabi. Kurang ajar ini.Â
Yang benar kita meneladan para nabi sebagai pedoman hidup kita. Jejak kehidupan para nabi di masa lalu selayaknya kita meneladan.Â
Selama ini tanpa sadar kita melakukan kesalahan dalam hal menulis "meneladani". Kita sudah merasa benar dengan apa yang kita lakukan. Jadi, semua kita anggap baik-baik saja.Â
Bila kita menyadari kesalahan ini, kita memang layak bertobat. Coba kita teliti makna dari kata "meneladani" dari KBBI. Meneladani itu artinya memberi teladan.Â
Kita tentu sering mendengar atau membaca kalimat, "Kita perlu meneladani Rasulullah."
Gawat bukan? Bayangkan. Kesalahan yang tanpa kita sadari ini sesungguhnya sangat fatal. Namun sudah sekian lama berlangsung tanpa kita merasa ada kesalahan.Â
Tentu kita jadi paham sekarang, bahwa kalimat yang lebih tepat itu menggunakan kata "meneladan" yang artinya meniru atau mencontoh. Bukan "meneladani".Â
Dalam kasus ini, paling tidak menyadarkan kita, bahwa dalam hidup ini sering kali kita melakukan satu kesalahan yang terus berlangsung tanpa kita menyadari itu sebagai kesalahan.Â
Jadi, alangkah naif bila kita berpikir sebagai orang yang tak pernah salah. Merasa orang yang paling benar sejagat. Kita tidak sadar masih  ada kesalahan-kesalahan yang terus berlangsung itu sebagai kesalahan.Â