Katedrarajawen _
Kebaikan, sejatinya menjadi hal yang alami dalam hidup kita, sehingga bisa konsisten melakukannya. Dalam setiap diri kita, benih-benih kebaikan memang ada. Kita bisa menggunakan atau tidak, itu masalahnya.Â
Jadi teringat dengan berita yang pernah saya baca, walau sudah cukup lama tak mengurangi makna dan pembelajaran yang ada. Ada haru ketika membaca tentang kejujuran seorang wanita.Â
Peristiwanya memang  terjadi jauh di Tiongkok sana, tetapi tetap dapat menjadi cermin diri dari sebuah peristiwa.  Beritanya : "Tukang Sapu Kembalikan Uang Rp330 Juta di Tumpukan Sampah ke Pemilik." Ini nyata.Â
Seorang tukang sapu, walau sebulan hanya dengan gaji lebih sedikit Rp 3 juta. Tak silau dan tergoda dengan uang ratusan juta. Uang sebanyak itu sebanding dengan hasil bertahun-tahun kerja.Â
Bahkan ketika si pemilik uang hendak memberikan tanda terima kasih berupa  uang senilai Rp 44 juta, wanita yang bernama Li Man dengan tegas tetap menolak. Tetap tak tergoda.Â
Luar biasa. Dia mengatakan, bahwa mengembalikan uang yang ditemukan itu sudah seharusnya.Â
Secara tidak langsung juga mengatakan, ia mengembalikan  uang bukan untuk mendapat imbalan atau demi hal lain. Tidak ada niat atau pamrih untuk menerima balasan dengan imbalan uang.Â
Apa yang dilakukan semata-mata kebaikan yang sudah sewajarnya. Saya yakin, wanita ini sepanjang hidupnya secara konsisten hidup dalam kebaikan dengan kepolosan hatinya.Â
Jelas berbeda dengan saya yang dalam hal berbuat baik tergantung suasana hati. Kadang juga tergantung situasi dan kondisi. Satu lagi, tergantung kepentingan.Â
Ini namanya berbuat baik angin-anginan. Keseringan masuk angin, malah lupa berbuat baik dengan segala alasan dan pembenaran. Itu yang terjadi dengan kita. Ah, Saya maksudnya.
Dipikir-pikir berbuat baik harus melalui perang batin dan pertimbangan yang panjang, bila perlu konsultasi dengan paranormal dahulu. Sebuah kebaikan yang bukan muncul secara alami atau spontanitas.Â
Semua terjadi, karena berbuat baik itu bukan lagi menjadi kebiasaan, ketika melakukan tanpa beban. Mengalir demikian saja. Apa adanya. Yang terjadi kebaikan yang  penuh beban dan perhitungan.Â
Orang yang terbiasa berbuat baik, menganggap berbuat baik itu sudah semestinya, seperti Li Man. Pasti bingung, bila harus menghitung kebaikannya. Saking banyaknya.Â
Orang seperti saya, pasti bingung juga, bila disuruh menghitung kebaikan yang ada. Bingung, Â sudah berapa kali berbuat baik. Saking jarangnya.Â
Rasanya malu sekali dengan Bu  Li Man, makanya menjadikan ini sebagai cermin peristiwa kehidupan untuk membiasakan diri hidup dalam kebaikan. Bukankah ini memang sudah seharusnya?Â
@cerminperistiwaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H