Baca baik-baik judul tulisan ini. Mudah, bukan? Mudah-mudahan yang sulit itu memahaminya.Â
Itu harapan saya, sebab akan ada penjelasan dalam tulisan ini. Penasaran?Â
Silahkan baca sampai selesai atau akan menyesal seumur hidup, karena rasa penasaran yang tak menemukan jawaban.Â
Menulis cerita memang tiada sulit. Ini tidak pakai teori tingkat dewa. Saya malah tidak akan pakai teori-teorian.Â
Sebenarnya pakai teori ini atau itu yang malah membuat susah. Kebebasan jadi tersekat. Jadi justru bingung memikirkan  teorinya daripada mengembangkan cerita.Â
Bila perlu kita yang buat teori baru dengan cara atau metode baru dalam bercerita. Jadi ingat ada yang menyindir saya dengan istilah katedrarajawenisme. Keterlaluan.Â
Kita ini memang suka membuat sesuatu yang sebenarnya  mudah jadi sulit. Menganggap semakin rumit itu semakin bagus dan berkelas. Yang sederhana itu tidak berkelas atau murahan.
Misalnya mendeskripsikan tokoh cerita dengan sangat mendetail. Uban selembarpun diulas tuntas sampai tahi lalat di bahu kiri jelas penggambarannya. Maksudnya apa ini?Â
Tidak masalah buat pembaca yang tidak suka berimajinasi melambung tinggi.Â
Itu contoh ceritanya yang tidak sulit, malahan membuatnya jadi menjlimet. Menggambarkan satu tokoh dengan tahi lalatnya  saja harus habis puluhan lembar kertas. Menghabiskan pula waktu yang baca.Â
Itu sama dengan makan kerupuk. Bentuknya besar, kunyah-kunyah, hanya terasa enak, tetapi tiada gizinya.Â