Katedrarajawen _Baru Membaca judul "Ketika Menteri Tidak Bisa Menerjemahkan Instruksi Presiden, Siapakah yang Patut Disalahkan?" ini spontan saya berkata pada diri sendiri. Kalimatnya seperti judul tulisan ini.Â
Gini-gini saya juga pernah jadi pimpinan. Walau bawahannya bukan menteri. Minimal juga sekarang masih sebagai pimpinan. Pimpinan keluarga.Â
Sering kali saya praktikkan ilmu ini. Ada juga sih lupanya. Beberapa kali saja. Tidak jelas ilmu ini saya dapat dari mana. Yang pasti bukan dari bangku kuliah. Mungkin dapatnya dari semacam wangsit malam Jumat.Â
Dalam pekerjaan. Ketika saya sudah merasa menyampaikan apa yang harus dikerjakan dengan baik. Ternyata hasilnya tidak sesuai harapan.Â
Begitu pun saat berpesan kepada anak atau istri. Rasanya suda pakai bahasa yang mudah dimengerti. Kenyataannya? Masih saja ada yang tidak dipahami.Â
Si marah langsung berdiri di depan. Tetapi sebelum dimuntahkan. Si hati langsung menginstruksikan pada si otak. Coba pikir kembali. Ini sebenarnya yang salah si mulut atau si kuping?Â
Seperti itu prosesnya. Apa yang diperintahkan pelaksanaannya tidak sesuai. Di mana salahnya?Â
Sebagai pimpinan umumnya pasti akan berkesimpulan yang salah itu bawahan yang tidak bisa mengikuti perintah. Memang ada pimpinan yang mau disalahkan?Â
Ada. Tetapi itu jarang.Â
Itulah sebabnya seorang pimpinan perlu memiliki kerendahan hati untuk belajar mau menerima kesalahan. Jangan mentang-mentang.Â
Itulah ilmunya. Sebelum melampiaskan kemarahan. Berpikir kembali. Meneliti kesalahan itu pada diri sendiri.
Apakah bahasa atau cara komunikasi yang tidak baik, sehingga tidak dipahami. Celakanya malah bisa salah mengerti.Â
Ini ada kisah nyata yang masih sangat saya ingat. Waktu itu pimpinan saya berkata kepada seorang tukang kebun,"Itu nangka dibungkus semua ya."Â
Kebetulan di pabrik memang ada satu pohon nangka yang sepanjang tahun berbuah.Â
Tanpa tanya lagi. Langsung eksekusi. Sebelum jam istirahat tukang kebun ini melapor. Bahwa semua angka sudah dibungkus. Selesai?Â
Tidak ternyata. Timbul kehebohan. Apa gerangan yang terjadi?Â
Ketika pimpinan ini sudah dengan berbunga-bunga hendak melihat hasil kerja tukang kebun yang dianggap kinerjanya luar biasa ini.Â
Yang terjadi malah kaget setengah mati. Nah, loh!Â
Benar. Semua nangka, yang berjumlah 32 biji sudah terbungkus rapi. Tetapi semuanya ada di bawah pohon.Â
Sebenarnya pimpinan ini sudah mau meledak marahnya. Namun tertahan. Berbalik jadi geli dan tertawa. Jadi pesta nangka. Padahal semua nangka itu belum ada yang matang.Â
Kita kembali ke kalimat "Itu nangka dibungkus semua ya."Â
Maksud dibungkus ini salah ditafsirkan. Sesungguhnya maksud pimpinan itu, semua nangka yang ada dibungkus di atas pohon. Bukan mau dipanen. Paham?Â
Dalam kasus Pak Jokowi jengkel di depan para menteri kita tidak tahu persis yang sebenarnya. Apa yang tampak hanya di permukaan. Pak Jokowi jengkel dan marah yang tertahan.Â
Tidak heran muncul berbagai opini dan analisa sesuai kepintaran masing-masing. Dari yang profesional sampai yang ngasal. Kayak saya ini.
Yang jadi masalah sebenarnya adalah soal keterbukaan. Apa-apa dipublikasi. Bahkan kamar tidur dan toilet artis pun tidak bersifat pribadi sekali lagi. Mentang-mentang zaman keterbukaan. Buka-buka aib di depan kamera pun sudah lumrah. Buka-buka baju tak masalah. Masalahnya lagi, banyak yang suka. Gila.Â
@catatanringanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H